Selasa, 12 Maret 2013

BUAYA MENGGUGAT ( CROCODILE COFFE IS ME )


 Dikalangan Masyarakat kita, julukan “Buaya darat” sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita, dimana julukan tersebut di tujukan bagi seseorang (pria) yang suka berganti-ganti pasangan wanitanya, baik itu yang masih berstatus pacaran atau sudah terikat dalam pernikahan. Namun, apakah sudah tepat julukan tersebut disematkan terhadap inkonsistensi seseorang dalam menjalin suatu hubungan dikaitkan dengan penggunaan asosiasi nama hewan “Buaya” yang berkonotasikan negatif terhadap fenomena di kehidupan manusia?.  Sebaiknya kita mengenal dulu hewan buaya berdasarkan sisi keilmuan fauna (zoologi) agar kita bisa merefleksikan stereotipe tentang penggunaan nama hewan-hewan (khususnya buaya)  untuk mesimbolkan fenomena dikehidupan manusia sehingga kita bisa menyikapinya secara adil dan bijaksana.

 Didalam pengetahuan Zoologi, hewan buaya (crocodylidae) termasuk hewan reptil  bertubuh besar yang bisa hidup di darat dan air walaupun pada umumnya habitatnya menghuni diperairan. Buaya merupakan hewan purba yang tidak termasuk hewan yang punah diantara hewan-hewan purba lainnya walaupun secara morfologi (seluk beluk) didalam evolusinya, Buaya mengalami sedikit perubahan bentuk sebagai cara untuk adaptasinya terhadap perubahan alam.  Selain pergerakannya yang cepat dalam jarak pendek didalam perairan maupun didarat, perilaku buaya juga sangat setia, hal itu terlihat ketika dia menjaga telur-telurnya ketika musim bertelur dan akan menyerang dengan sangat agresif ketika ada predator lainnya yang hendak memangsa telur-telurnya, selain itu dalam interaksi sexual-nya, Buaya termasuk hewan yang sangat setia juga, dimana Buaya jantan tidak akan mengawini Buaya betina lain selama pasangannya belum mati. (Wikipedia)

 Berdasarkan dari ruang materi zoologi tentang buaya yang dibenturkan ke dimensi stereotipe persepsi “Buaya darat”, penulis menemukan beberapa hal yang bertolak belakang diantaranya ketidaksesuaian atas persepsi umum (maindstream) masyarakat yang mensimbolkan Buaya untuk menghakimi (judge) sifat dan perilaku seseorang yang tidak setia terhadap pasangannya, bertolak belakang dengan sifat dan perilaku Buaya yang sangat setia menjaga hubungan terhadap pasangannya (faithfull interaction).

 Apabila dikembangkan lebih luas lagi, makna yang bertolak belakang (opposite meaning) atas stereotipe “buaya darat” akan menciptakan “kegelian” ketika dimasukkan dalam ranah salah satu kearifan lokal suku Betawi yang mensimbolkan Buaya dengan “roti buaya” sebagai filosofi nilai kesetiaan didalam prosesi pernikahan adat Betawi.  Didalam kancah olahraga di Indonesia, salah satu klub dari cabang olahraga Sepakbola bahkan ada yang memakai julukan Buaya untuk jargon identitas klubnya, klub tersebut adalah Persebaya Surabaya yang dijuluki Bajul ijo (Buaya hijau), dimana klub tersebut cukup disegani  oleh klub-klub sepakbola lainnya di negeri ini karena prestasi maupun kesolidannya, baik secara klub maupun supporternya yang bernama “Bonek” .   Bahkan, ketika spektrum stereotipe pencitraan yang menghasilkan maindstream opinion yang sewarna dengan “Buaya darat”, hanya beda dimensi, kita akan menemukan beberapa “guyonan” bahkan yang sudah sampai mengarah kependapat pribadi yang serius dimana kedua hal tersebut bernuansakan Suku, Agama dan Ras bangsa (SARA),  beberapa contohnya adalah yang menyebutkan bahwa orang-orang Batak yang menguasai angin untuk mensimbolkan bahwa tidak sedikit orang yang menekuni profesi tambal ban berasal dari suku Batak, walaupun pada kenyataannya banyak juga orang  dari multi suku lain (selain suku Batak) di negeri ini yang menekuni profesi penambal ban. Ada juga pepatah bernuansakan humor yang diplesetkan dari pepatah aslinya yaitu “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung“ diplesetkan menjadi “dimana bumi dipijak disitu rumah makan dibangun” untuk mensimbolkan jiwa wira usaha orang suku Minang.  Belum lagi pendapat pribadi yang serius dan bernuansakan pesimis_jika boleh juga dikatakan frustasi_ yang mungkin ada dan berkembang di masyarakat kita yang memasuki ranah agama, politik dan bangsa seperti “Islam itu teroris”  dan “Presiden mesti dari suku Jawa” serta “bangsa Indonesia masyarakatnya pemalas”.  Adalah suatu hal yang mungkin, apabila dari semua Stereotipe yang dipaparkan sebelumnya, bisa menjadi salah satu bom waktu di dalam SARA yang notabenenya sensitif dalam memicu perpecahan dibangsa kita.

 Dari semua paparan yang sudah penulis terangkan sebelumnya, untuk menghindari kita terjebak atas stereotipe berkonotasikan negatif dan lemah dasarnya sehingga bisa di sejajarkan dengan prasangka buruk (su’udzon) dimana implikasinya bisa menjadi alat untuk pembunuhan karakter (character assassination), atau apabila di izinkan ditransformasi menjadi pepatah “Stereotipe negatif lebih kejam dari fitnah dan pembunuhan”,  penulis ingin memberikan suatu perspektif yang berbeda untuk menjelaskan terhadap stereotipe-stereotipe yang berkembang dalam multi dimensi dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat kita dinegeri Indonesia yang kita cintai ini, sehingga bisa dijadikan bahan perenungan bersama dan mengevaluasi bahkan adalah suatu hal yang bijaksana apabila kita menyadari, mau dan bisa merekonstruksi_jika perlu merevolusi untuk ekstremnya_ atas pandangan-pandangan kita yang notabenenya kita belum tentu paham secara menyeluruh (comprehensif), dimana menurut prediksi penulis apabila kita bisa mengimplementasikannya adalah suatu keniscayaan implikasi dari semua itu adalah terciptanya masyarakat yang cerdas, kritis dan membangun kemajuan bangsa Indonesia menuju Bangsa yang disegani didunia, Gemah ripah loh jinawi. Amin. Bahkan kalo penulis boleh menceritakan tentang imajinasi yang beraroma humor (sense oh imagination humor) ala penulis sendiri, ketika di akhirat nanti kita bisa menghindari kejadian berhadapan dengan Buaya apabila kita mau memperbaiki diri, dimana sang Buaya didalam maha pengadilan berpledoi dalam gugatannya dengan kata-kata-kata  lucu nan singkat,  tegas namun menyentil “wahai manusia yang sering berselingkuh, apa kalau kalian berselingkuh, itu salah Gue? Salah temen-temen Gue? Salah keluarga Gue? Please deh, kalian itu sakit jiwa tau gak sih???”  Hihihi....
 (Yogyakarta, WS, 5 Juli 2011  2154 WIB)
 Artikel Ke-3 Penulis dedikasikan buat manusia-manusia yang mau instropektif dan kritis

*Biodata Penulis
Nama : Reza Gustav
Nama panggilan di organisasi: Bajul (Mapala)
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pengalaman Organisasi
Anggota kehormatan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Lampung (Mapala Unila)
Anggota Forum Peduli Transportasi Yogyakarta (FPTY) Jurusan Teknik Sipil UMY
Makna Gambar kartun Buaya (Jempol dan Telunjuk) : Apresiatif dan Korektif