Rabu, 15 Mei 2013

BERPETUALANG KE GUNUNG SELAMET


Tanggal 6-9 Oktober 2011 merupakan waktu yang telah dilalui penulis dan 1 orang sahabat penulis yang akrab di panggil "bapak" dalam melaksanakan misi pendakian gunung yang awalnya berkeinginan untuk mendaki sekaligus tiga Gunung dengan awalan huruf S di Jawa Tengah yang dikalangan pendaki dikenal dengan triple S ( Sindoro, Sumbing, Slamet), hanya saja karena pada waktu itu kami mendapatkan info bahwa dua gunung diantaranya yaitu Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sedang dalam kondisi yang tidak kondusif untuk para pendaki melakukan aktifitas pendakian di kedua Gunung tersebut, alasan penyebabnya adalah banyak kebakaran yang melanda lahan di kedua gunung tersebut sehingga jalur pendakian di tutup. memang pada waktu itu kondisi cuaca sedang dalam musim kemarau sehingga lahan-lahan disana rentan dilanda kebakaran  baik yang di picu oleh alam itu sendiri maupun ulah tangan manusia yang ingin instant dalam membersihkan lahan untuk kepentingannya. Dari kenyataan itu lalu secara otomatis hanya Gunung Slamet yang menjadi target tunggal kami untuk melaksanakan misi "mensucikan diri" (lebay ihh) dengan membasuh dahaga hasrat kami yang mungkin telah kering dihinggapi kegalauan dan kejengahan akut oleh panasnya situasi alam dan interaksi manusia yang ada dikehidupan kota maupun berita-berita dimedia yang kami temui dalam kehidupan nyata kami sehari-hari. yhapp, ketika semua orang terbius dan terpasung dalam "goa kenyamanan" yang direfleksikan oleh rutinitas dimensi aktifitas kehidupan dikota dan dengan pemberitaan dimedia yang menjadikan skandal politik menjadi hot topic yang mencengangkan masyarakat, kami dua manusia muda Indonesia memilih untuk sejenak keluar dari dalam goa tersebut, bukan untuk melarikan diri karena takut dan menghindar dari semua hiruk pikuk tersebut melainkan kami ingin sejenak mencharger spirit jiwa raga yang kami rasa cukup banyak terkuras dalam menghadapi problemaika kehidupan sehari-hari kami yang kemudian ketika spirit itu kami rasa telah terpenuhi pada nantinya akan kami bawa pulang kembali semangat tersebut dalam mengarungi kerasnya kehidupan dan berkeinginan untuk membaginya ke sesama melalui beragam cara...dan saya memilih untuk bercerita...tentang kami, gunung Slamet dan Tuhan taelaaaahh..cukup puitis dan melankolis kan? #di seruduk kebo'
visualisasi Penampakan syok

Gunung Slamet ( 3428 MDPL) merupakan salah satu tipe gunung berapi yang mencuat kokoh dari permukaan bumi jawa dimana Gunung ini berada di perbatasan kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah, dan merupakan yang tertinggi di Jawa Tengah serta kedua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru. Terdapat empat kawah di puncaknya yang semuanya aktif. ada beberapa jalur yang bisa dipilih oleh pendaki untuk mencapai puncaknya, diantaranya bisa lewat jalur Bambangan yang merupakan jalur standar atau populer, selain itu bisa juga di akses lewat jalur Guci yang terdapat pemandian air panasnya dan juga bisa ditempuh lewat jalur Batu Raden. dan pada akhirnya kami memutuskan untuk memilih jalur via Bambangan.
Berbagai persiapan telah kami lakukan dalam usaha memuluskan misi pendakian kami ke Gunung Slamet, diantaranya dalam hal biaya pendakian kami berdua rela (demen lebih tepat karena gonjrang gonjreng gak karuan dan suara pas-pasan bisa mendapat uang,hehehe) mengamen di beberapa titik keramaian di kota Yogya, sebut saja Alun-alun kidul dan di sepanjang jalan masuk kampus UGM yang ramai oleh masyarakat yang membuka  lapak-lapak dagangan menu buka puasa dan pembelinya di dominasi oleh Mahasiswa ketika memasuki saat berbuka puasa karena pada waktu setengah bulan dalam masa persiapan pendakian merupakan bulan Ramadhan, sehingga moment dan cara seperti itu saya rasa cukup efektif untuk meringankan pembiayaan yang mesti kami siapkan untuk misi kami mendaki Gunung. Untuk Logistik milik pribadi dalam bentuk peralatan pendakian syukurnya kami cukup lengkap, peralatan yang kami pinjam dari orang lain hanya kompor gas kecil itupun karena kompor gas yang saya punya ternyata tidak bisa digunakan secara baik karena mungkin faktor umur dan cukup layak untuk dimuseumkan ( padahal sih kurang perawatan juga )
Singkat cerita (padahal intronya banyak kuahnya) setelah melewati 99 godaan dan 99 rintangan akhirnya masa persiapan telah rampung dan kamipun siap untuk melakukan misi suci dengan bercelana..eh berkelana maksudnya! kami mengawali pengembaraan kami dengan menaiki kendaraan besi berkaki empat (bus) dari padepokan pasar Gamping, Bantul Jogjakarta. sekitar jam 10-12 malam kami menunggu kendaraan tersebut menghampiri dan membawa kami ke Purwokerto, walaupun selama dua jam tersebut kami mendapati kenyataan bahwa ada kesempatan lain yang dilewatkan dari sebuah kendaraan Taxi yang menawarkan untuk kami memakai jasanya dengan kompensasi harga jasanya Rp. 30.000,- dengan dibumbui alasan dia sekalian ingin pulang ke pangkalannya di Purwokerto, namun karena kami belum tau info harga perjalanan dari Jogja-Purwokerto antar jenis kendaraan, kamipun menawar lebih murah yang ditolak oleh supir taxi tersebut dan akhirnya ada penumpang lain yang mengambil kesempatan itu. baru setelah Taxi tersebut terlebih dahulu berangkat memulai perjalanan menuju Purwokerto dan setelah kami mendapati bus yang kami tumpangi dan membayar tiket yang ditarik oleh kernet didalam bus itu baru kami menyadari bahwa kesempatan tadi merupakan kesempatan emas yang telah kami lewatkan karena tiket bus ekonomi yang kami tumpangi ternyata lebih mahal yaitu Rp. 35.000,- terbayang kalau seandainya (emang indah klo berandai-andai) kami jadi menaiki Taxi tersebut, jelas selain lebih hemat dalam pengeluaran biaya juga berpengaruh terhadap pengalaman prestise alat transportasi yang kami gunakan dalam proses perjalanan menuju sasaran gunung pendakian. saya teringat kata-kata bijak "bapak"_ rekan saya yang cukup syok (efek syoknya dia tidur dengan kedua mata tertutup, mulut menganga.hahahaha) setelah mengetahui kenyataan itu dia berujar (sambil kepalanya dirubungi laler, coz rambut gimbalnya naudzubillah deh..gembelnya! hahahaha) "memang pengalaman itu adalah sesuatu hal yang mahal harganya" lalu kemudian dia tertidur pulas  dipangkuan sang dewi malam setelah sempat membantu mendorong bus ekonomi yang kami tumpangi sekali mogok ditengah perjalanan.
Setelah menempuh selama 3 jam perjalanan dan setelah melewati 9 masa purnama serta 9 bukit perjalanan berkuda, jam 3 dini hari kami sampai di terminal besar Purwokerto. kamipun langsung mencari info kendaraan selanjutnya untuk mendekati gunung Slamet melalui pedagang didalam terminal, dari mereka kami mendapatkan info bahwa kami mesti menunggu pagi menjelang yang diasumsikan jam 6 pagi oleh kami untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kendaraan angkot dari Terminal itu menuju Batu Raden. jadi selama 3 jam menuju pagi hari itu kami lalui di dalam terminal dengan berbagai aktifitas, saya lebih memilih untuk bersih-bersih jiwa raga dengan mandi dan sholat shubuh (padahal sangat jarang tuh kalau dikota untuk bangun pagi apalagi kalau untuk sholat shubuh.hihihi) di masjid yang ada di dalam terminal sedangkan rekan saya yang gimbal tapi Insha Allah nasibnya gak jadi gembel, asyik dengan seduhan susu hangat yang dipesannya dari pedagang dengan diselingi  kepulan asap rokok yang keluar dari bibir hitamnya...yah mudah-mudahan nasibmu tidak sehitam bibirmu kawan..hehehehe. setelah saya selesai bersih-bersih dan bergabung menikmati seduhan susu hangat kombinasi rokok, tak terasa jam 6 pagi telah menjelang  lalu kami berdua pun segera bergerak mencari angkot menuju Batu Raden.
Visualisasi angkot Terminal Purwokerto ke Batu Raden

Tanpa kesulitan berarti kami berduapun berhasil mendapatkan angkot tersebut didalam terminal, walaupun mesti agak lama menunggu angkot tersebut memulai perjalanan dari terminal karena masih menunggu beberapa kemungkinan ada penumpang lain selain kami, akhirnya selang kurang lebih 1 jam perjalanan angkot tersebut sukses membawa kami mendekati gunung Slamet dengan menurunkan kami di gerbang masuk wana wisata  Batu Raden yaitu sebuah lokasi hutan wisata yang didalamnya dipenuhi beragam pepohonan rindang nan hijau dengan kesejukan udara yang meliputinya sehingga sangat memanjakan mata dan jiwa bagi yang berada disana.Setelah memindahkan uang Rp 16.000,- utk kami berdua ke kantong supir angkot,  sesampainya di wana wisata Batu Raden kami tak serta merta langsung melanjutkan perjalanan menuju desa Bambangan, karena kami rasa kami perlu bersosialisasi pikiran dan perut (baca: lapar) dulu dengan masyarakat sekitar. akhirnya kami memilih untuk sarapan dulu  dan mencari info-info lainnya yang terkait dan berguna dalam proses pendakian kami ke warung makan yang banyak berjejer disisi jalan yang berada tak jauh dari depan gerbang wana wisata. setelah tanpa peri ketumbuh-tumbuhan dan perikehewanan kami pun menyantap dengan kalapnya sajian menu makanan berisi nasi kombinasi telur tempe dan sayur mayur. selama bersosialisasi dengan masyarakat yang kami temui diwarung ini, kami mendapatkan beberapa cerita yang menarik terkait aktifitas pendakian yang sudah-sudah di Gunung Slamet. seperti apa yang di ceritakan oleh seorang ibu-ibu setengah baya yang mempunyai anak 1 bahwa dulu beliau merupakan pendaki gunung juga yang telah memiliki pengalaman mendaki bebrapa gunung di pulau jawa, menurut beliau Gunung Slamet dibalik keindahan dan pesonanya ternyata menyimpan berbagai peristiwa kelam atas berbagai tragedi pendakian yang merenggut korban jiwa dari pendaki gunung, dia menyebut dahulu ada sekelompok pendaki dari kalangan mahasiswa yang tewas dalam aktifitasnya mendaki gunung Slamet dikarenakan faktor cuaca dan kondisi alam gunung Slamet yang dalam aktifitasnya sebagai gunung berapi mengeluarkan gas beracun berbahaya yang disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab meninggalnya sekelompok pendaki gunung kalangan mahasiswa tersebut yang menurut beliau sebelumnya sudah diperingatkan untuk mewaspadai hal tersebut, tak hanya itu saja, menurut beliau selain itu banyak pula pendaki yang tertimpa musibah di gunung Slamet tersebut karena kurangnya persiapan dari segi peralatan maupun pengetahuan sehingga menyebabkan mereka kurang mampu untuk bisa bersahabat dalam mengakomodir suguhan tantangan dalam proses pendakian di gunung tersebut, hilang arah lalu tersesat kemudian karena mental dan fisik serta logistik yang di bawa sudah terkuras sehingga membawa mereka sendiri kedalam sebuah tragedi yang kerap merenggut nyawa mereka atau bila masih beruntung bisa diselamatkan oleh tim penyelamat atau mereka sendiri walau dengan kondisi yang jauh dari normal dan nyaman. belum lagi cerita-cerita mistiknya yang biasanya di tiap gunung mesti ada cerita mistik yang melingkupinya, seperti apa yang diceritakan oleh ibu itu, beliau punya pengalaman mistik di Gunung Slamet ketika dahulu beliau mengambil foto rekan pendakiannya waktu mereka mendaki gunung Slamet, saat dia mencuci foto tersebut dia mendapati pundak rekan pendakinya di tumpangi oleh sesosok anak kecil berperawakan wanita berpakaian ala busana tempo dulu zaman belanda dengan memakai topi caping lebar yang menutupi sebagian wajah anak kecil tersebut, padahal waktu dia mengambil foto tersebut dia yakin sekali tidak ada orang lain yang ada di pundak rekannya itu, bahkan dia sempat berulang kali mencuci foto tersebut untuk meyakinkan apabila mungkin ada kesalahan saat mencuci foto tersebut dan ternyata hasilnya tetap sama! sosok anak kecil itu tetap ada di pundak rekannya itu...hiyyyyy....seyemmmm..(bagi yang tidak kuat, lambaikan tangan ya...). Tetapi selain dari cerita-cerita yang diatas tersebut beliau juga berpesan untuk selalu waspada dan menghormati segala hal yang ada di sekitar gunung yang akan di daki, tak terkecuali gunung Slamet. hormatilah kearifan lokal masyarakat disekitarnya, baik itu yang menyangkut etika maupun mitos yang ada serta selalu menjaga niat yang baik dalam proses pendakian gunung, dengan itu mudah-mudahan akan mendatangkan spirit keselamatan dan kelancaran dalam proses pendakian itu sendiri. 
Ibu muda (warga sekitar) Pendaki Gunung
Gerbang wana wisata Batu Raden
Warung dekat gerbang wana wisata

Setelah bersosialisasi dengan masyarakat sekitar diwarung makan itu dan dirasa perut sudah cukup berisi akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan menuju desa Bambangan dengan menumpangi mobil sayuran (atas rekomendasi ibu pemilik warung makan) yang biasanya tiap pagi dan sore hari kerap lalu lalang  menuju dan dari desa Bambangan yang melewati daerah sekitar wana wisata Batu Raden. sungguh masyarakat yang kami temui selama perjalanan menuju Gunung Slamet sangat ramah dan baik responnya terhadap kami, hal itu terjadi lagi ketika mobil sayuran yang kami tumpangi ban nya terperosok di tepi jalan aspal yg di bagian paling tepinya merupakan tanah yang gembur, kami berdua ikut membantu mendorong mobil tersebut sehingga bannya yang amblas didalam tanah bisa keluar, lalu tak lama kemudian setelah sempat transit dan ikut membantu juga menurunkan isi muatan mobil tersebut yang semuanya merupakan sayuran milik ibu-ibu warga sekitar yang juga menumpangi mobil yang sama dengan kami, ibu-ibu tersebut dan supir angkutan kami memanggil kami untuk masuk kedalam rumah dan dipersilahkan untuk menikmati hidangan nasi goreng khas daerah situ yang disiapkan oleh ibu pemilik sayuran tersebut. wah sungguh suatu pengalaman yang indah dan menyenangkan bisa begitu dekat dan ramah berinteraksi dengan masyarakat yang baru saja dikenal. “....Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai masyarakat Indonesia (kemanusiaan) Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung” quote Soe Hok Gie yaitu aktifis Mahasiswa era Revolusi ’60-an terasa lebih bermakna dan memiliki arti yang riil pada saat itu..
Riang dan gembira di dalam angkutan mobil sayuran
ban mobil sayuran yang terperosok di tepi jalan
vegetasi di dalam areal wana wisata
menikmati hidangan nasi goreng bersama supir mobil sayuran

Setelah kurang lebih selama 2 jam perjalanan,  akhirnya sampai juga kami di desa Bambangan, yaitu desa yang merupakan gerbang awal kami mendaki gunung Slamet dengan berjalan kaki. setelah kami berbelanja logistik makanan dan minuman di desa tersebut dan terlebih dahulu menyempatkan diri untuk mengikuti sholat Jum'at lalu istirahat tidur di desa tersebut, akhirnya langkah kaki kamipun mulai menari disepanjang jalur pendakian yang bermula di gerbang pendakian desa Bambangan, jam menunjukkan sekitar pukul 3 sore dan cuaca cukup bersahabat ketika kami memulai aktifitas pendakian.
Gerbang masuk jalur pendakian di desa Bambangan
Penulis (kiri) dan "bapak" rekan pendaki penulis berpose sebelum start melakukan pendakian via Bambangan
Base Camp pendakian desa Bambangan
Dari desa bambangan sampai puncak gunung Slamet terdapat 9 pos yang mesti kami lalui, jalur menuju menuju pos 1 (pondok pasanggrahan) kami lalui dengan disuguhi panorama khas perkebunan beragam sayur seperti cabai dan kubis dengan track jalurnya relatif masih banyak bonusnya (landai) walaupun memang dari warga sekitar sudah di wanti-wanti untuk tidak salah mengambil jalur yang banyak bercabang sepanjang perjalanan menuju pos 1, petunjuk penting yang kami terima dari penduduk supaya tidak salah mengambil arah cabang adalah mengambil jalur sebelah kiri dari cabang yang berada diatas  setelah lapangan yang akan kami temui ditengah perjalanan, dengan mengikuti petunjuk penduduk akhirnya setelah berjuang selama kurang lebih 2 jam akhirnya kamipun sampai di pos 1.
Isirahat sambil melihat pemandangan diteras Pondok Pos 1
 
istirahat di tengah jalur menuju Pos 1
setelah cukup istirahat selama kurang lebih 30 menit, kamipun melanjutkan kembali pendakian kami menuju pos 2 ( Pondok Walang ), untuk kondisi yang disajikan oleh alam selama menuju pos 2 adalah masih relatif berimbang dengan karakteristik menuju Pos 1 yaitu masih terdapat beberapa ladang pertanian namun ada beberapa tanaman pohon pinus mulai menghiasi. Tracknya pun masih disuguhi beberapa bonus. kurang lebih 2 jam akhirnya kami tembus mencapai pos 2 kemudian mengambil waktu  sekitar 15 menit untuk istirahat sekedar membasuh tenggorokan kami dan meluruskan kaki kami yang mulai terasa pegal kamipun melanjutkan perjalanan pendakian kami menuju Pos 3 (Pondok Cemara). terlihat dan terasa walaupun hari sudah mulai gelap, memasuki wilayah sepanjang jalur Pos 2 ke Pos 3 merupakan sebuah wilayah hutan lebat yang memiliki kerapatan vegetasi dan bentuk pohon-pohonnya cukup besar dan jalanannya sudah mulai terjal, sempit dan panjang yang cukup menguras tenaga dan mental pysikologi pendaki. Setelah menempuh kurang lebih selama1,5 jam, waktu yang relatif lebih cepat karena kami mendakinya dengan ayunan kaki yang relaif cepat dan panjang sehingga konsekuensi dari itu semua adalah fisik dan tenaga kami lumayan terkuras sehingga pada saat tiba di Pos 3 kami memutuskan untuk beristirahat lama sambil mengeluarkan bahan makanan dan minuman untuk diolah guna mengisi perut kami yang sudah mulai keroncongan. Di Pos 3 ini juga kami membuat perapian untuk menghangatkan diri dari sergapan udara pegunungan malam hari yang mulai terasa dingin. Ada beberapa kejadian yang menurut saya cukup unik sekaligus aneh, diantaranya kami melihat ada sesosok makhluk malam merayap dan loncat-loncat diantara dahan pohon diatas kami, walaupun kami tahu itu adalah hewan sejenis Tupai yang cukup besar namun karena efek pencahayaan malam hari yang remang-remang sosok itu terlihat seperti sosok dari dimensi lain. Belum lagi ketika kami telah selesai makan dan minum sambil menghangatkan diri dekat perapian, tiba-tiba ada sergapan angin kuat namun singkat yang menerpa kami, kami berdua tetap tidak saling bertanya satu sama lain, yang kami lakukan hanyalah saling diam sambil mengamati keadaan lingkungan sekitar, terlihat bahwa angin tersebut hanya menerpa kami saja karena dahan-dahan pohon disekitar kami tidak ikut bergoyang sehabis hembusan angin tersebut. Kontan saja pikiran melayang ke cerita-cerita horor  ibu muda pendaki yang kami temui di warung. Seperti saling mengerti satu sama lainnya, kamipun segera bergegas meninggalkan tempat itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke Pos selanjutnya yaitu Pos 4 (Pondok Samarantau). Kondisi vegetasi menuju pos 4 masih relatif sama dengan yang sebelumnya, masih banyak pohon-pohon besar dan rapat dengan track yang panjang dan sedikit sekali bonusnya, akhirnya setelah berjibaku selama kurang lebih 2 jam perjalanan santai akhirnya kami sampai juga di Pos 4, tetapi kami tidak lama beristirahat di Pos tersebut bahkan kami langsung meneruskan perjalanan menuju Pos 5 (Samyang Rangkah), dengan relatif masih sama kondisi vegetasi dan karakteristik tracknya dengan memakan waktu kurang lebih 2 jam kami hampir sampai sedikit lagi ke Pos 5, namun dihentikan karena pada saat itu tiba-tiba kondisi tubuh saya mendadak menggigil, gejala dari Hypotermia (kehilangan panas tubuh karena faktor dingin dan fisik yang menurun). Ternyata penyebab lainnya adalah air di dirigen 5 liter yang saya bawa merembes keluar membasahi carrier dan punggung saya sehingga baju yang saya kenakan di areal punggung terasa dingin sekali karena basah. Setelah saya meminta bantuan dari rekan saya untuk membuatkan seduhan air minum hangat dan membuka camp (tenda) di sebuah areal tanah yang datar tak jauh dari Pos 5 (Samyang Rangkah) akhirnya malam itu kami habiskan berada di dalam tenda dengan tidur sambil sesekali badan bergetar menahan dingin.
Keesokan harinya ketika matahari sudah berada tinggi diatas ubun-ubun, kamipun segera packing merapikan perlengkapan kami kembali dan bergegas melanjutkan perjalanan. Tak lama, setelah sampai di Pos 5 kami bertemu dengan sekelompok pendaki dari Mahasiswa UNS Solo, dan kamipun segera terlibat perkenalan dan pembicaraan mengenai info pendakian ke Pos selanjutnya, dari mereka kami mendapatkan info bahwa jalur dari Pos 5 menuju Pos 9 relatif cenderung semakin bersahabat baik dari segi waktu tempuh maupun kondisi tracknya, hanya saja yang akan cukup menguras tenaga dan waktu adalah ketika menuju puncak dari Pos 9. Oleh sebab itu kami disarankan untuk kembali transit camp ketika sampai di Pos 7 untuk kemudian ke esokan harinya melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Setelah dirasa cukup mendapatkan info dan saling menawarkan logistik yang di punya, kamipun melanjutkan perjalanan kembali. Pos 5 ke Pos 6 (Samyang Jampang) memakan waktu kurang lebih 1,5 jam perjalanan santai dengan kondisi vegetasi yang masih cukup rapat dan track yang masih cukup membuat nafas terengah-engah. Bagitu pula dengan kondisi waktu tempuh dan karakteristik track dari Pos 6 menuju Pos 7 (Samyang Katebonan) tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Sehingga ketika suasana  sore akan menjelang kami sudah tiba di Pos 7 kemudian mulai mengeluarkan isi tas untuk  mengolah isi dari dalam tas itu baik itu bahan makanan maupun perlengkapan seperti tenda. Setelah selesai mengolah bahan makanan di dalam perut dan mendirikan tenda, kamipun berusaha untuk tidur sore, rekan saya sempat sukses dengan dengkurannya, namun tidak dengan saya, walaupun sudah berusaha kuat tetap saja tidak bisa memejamkan mata, tak lama kemudian terdengar air hujan turun mungkin berasal dari kabut pekat yang mulai menyelimuti areal Gunung Slamet, sayapun segera bergegas keluar sambil membawa nesting (alat masak sejenis panci khas pendaki berbentuk segi empat atau bundar) dan memotong bagian botol air mineral untuk menampung air hujan yang luruh kebawah dari atas atap seng pondok Pos 7. Yah cukup lumayan air yang tertampung untuk sekedar membantu menghemat persediaan air yang kami bawa dalam mengolah bahan makanan dan minuman yang ada. Didalam pendakian memang kita mesti jeli dan sigap dalam memanfaatkan sesuatu hal yang berasal dari alam guna mengantisipasi hal yang bisa menghambat mulusnya proses pendakian kita di gunung, seperti kehabisan air padahal digunung tersebut susah untuk mendapatkan sumber air apalagi bila musim kemarau.  Air didalam proses pendakian memegang peranan penting, jadi wajib bagi pendaki untuk tidak mengabaikan ketersediaan air dalam usahanya mencapai tujuan didalam pendakian tersebut.
Ketika hari sudah semakin sore, kami kedatangan serombongan pendaki berjumlah 7 orang, setelah berkenalan kami ketahui mereka adalah mahasiswa Unsoed Purwokerto. Tak butuh waktu lama kami sudah terlibat pembicaraan yang seru dengan diselingi humor-humor yang segar, bercerita berbagi pengalaman ngalor-ngidul (baca; tak bertema) menjadi berbeda nuansanya ketika dilakukan di tengah diketinggian gunung yang jauh dari hiruk pikuk suasana kota yang cenderung agak kental budaya individualistik dan hedonisnya. Kenikmatannya setara dengan bersantap ria dengan ikan asin dan sambal di tengah sawah yang terhampar hijau...suasana malam itu sangat dingin dengan sesekali di iringi suara yang bersenandung indah dari hewan-hewan malam pegunungan yang seakan akan menemani dan menghibur kami yang sedang bercengkrama dengan hangatnya....sampai larut malam....
Ketika di batas tepi ufuk kaki cakrawala sudah mulai menampakkan keanggunannya dengan warna merah keemasan menandakan pagi hari menjelang, kami semua pun bangun dari peraduan dan segera bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, setelah selesai mengisi perut kami dengan sarapan sekedarnya dan sempat mengabadikan suasana pagi itu kami secara bersama-sama melakukan perjalanan menuju Puncak dari Pos 7 dengan meninggalkan beberapa perlengkapan dan bahan makanan di Pos itu. Kami mempertimbangkan atas saran dari pendaki sebelumnya bahwa tidak perlu terlalu banyak membawa perlengkapan dan bahan makanan ke Puncak karena itu hanya akan membuat mubazir tenaga karena tidak semuanya akan digunakan selama proses naik dan turun ke puncak dari Pos 7. Sedangkan di Pos 7 untuk meninggalkan logistik tidak perlu khawatir karena selama ini hampir setiap pendaki yang meninggalkannya barangnya di situ tidak mengalami kecurian bahan dan perlengkapan yang di tinggalkan. Jadi kami hanya membawa bahan makanan dan perlengkapan (alat dokumentasi dan alat masak) secukupnya dengan volume yang sudah diperkirakan.
Nesting dan botol-botol air mineral yang ksosong untuk menampung air hujan
suasana sunrises lembayung dini hari hari dari Pos 7 Gunung Slamet
suasana sunrises lembayung dini hari hari dari Pos 7 Gunung Slamet

Tak seberapa lama kami semua sudah tenggelam dalam proses pendakian, nafas mulai terengah-engah kembali, keringat mulai bercucuran kembali ditengah udara yang masih terasa cukup dingin, ada benarnya info yang kami dapat dari pendaki dari Solo bahwa jalur dan waktu tempuh dari Pos 7 ke Pos 9 memerukan waktu yang relatif lebih cepat dan bersahabat. Tak lebih dari 30 menit kami berhasil mencapai Pos 8 (Samyang Kendit) dan tak lebih dari 1 jam kami berhasil tembus sampai ke  Pos 9 (Plawangan) dengan karakteristik jalur track yang cukup banyak bonusnya walaupun masih ada jalur yang terjal. Kondisi vegetasi  dari Pos 7 ke Pos 9 mulai mengecil ukuran pohon-pohonnya dan jarang jarang, dari Pos 7 ke Pos 8 sudah mulai memasuki batas vegetasi, bahkan menjelang Pos 9 hanya semak belukar dan perdu yang dijumapi di lintasan ini. Tumbuhan edelweiss pun sudah bisa ditemui menjelang Pos 9 (Plawangan).
view pemandangan dari atas jalur Pos 8 (awan menyerupai jembatan)
view pemandangan dari atas jalur Pos 8 (awan menyerupai jembatan)
beristirahat sejenak di tengah jalur menuju Pos 9 dari Pos 8
visualisasi jalur dan vegetasi dari Pos 8 ke Pos 9
Gerbang menuju puncak dari Pos 9
Pos 9 merupakan gerbang pendakian ke Puncak Gunung Slamet. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam dengan kecepatan langkah kaki yang santai dan diperlukan kewaspadaan dari pendaki ketika melintasinya karena medannya berupa tanah berpasir dengan kombinasi ukuran beragam batu dari yang kecil sampai yang sangat besar tertanam disana, tetapi yang patut diwaspadai adalah longsoran batu yang tertanam labil, hal tersebut terjadi ketika kami sedang menuju puncak, tiba-tiba ditengah perjalanan di medan berpasir dan berbatu tersebut, kami melihat dan mendengar suara gemuruh dari atas, ternyata ada seonggok batu sebesar kepala truck sedang meluncur deras dari atas puncak menurun kebawah, untungnya arah dan lintasan batu yang meluncur tersebut tidak pas di jalur kami mendaki, arah luncurannya agak sedikit jauh disamping kami, walaupun demikian kami sempat terperangah oleh kejadian itu, terbayang apabila kejadian batu itu menghantam salah satu atau kesemuanya dari kami, alamat bakal cilaka 13 alias game over deh dengan kondisi yang parah tertimpa luncuran batu besar dari atas. Akan sangat logis apabila kuburan atau Rumah sakit menjadi tujuan selanjutnya apabila kami tercium oleh longsoran batu besar itu. Ternyata setelah diamati penyebab batu itu longsor adalah batu tersebut bergerak karena diatas ada beberapa pendaki lain yang berbeda rombongan dari kami yang sedang menuruni puncak, dimana salah satunya menginjak batu besar tersebut sehingga bergerak dan meluncur kebawah, oleh sebab itu kami berteriak dari bawah keatas supaya untuk selanjutnya pendaki lain yang berada di atas rombongan kami baik yang sedang turun atau yang sedang mendaki untuk berhati-hati menempatkan pijakan. Akhirnya setelah cukup lama selama 2 jam dengan diringi sport jantung dan nyali yang mulai terusik, akhirnya.....sekitar jam 10 menjelang siang kamipun tiba di puncak pencapaian dari tujuan pendakian gunung Slamet. Selamat datang di atas titik tertinggi di tanah Jawa Tengah seakan-akan tertera di benak saya. Puncak gunung Slamet ( 3428 MDPL ) tampak menyambut kami semua dengan senyumannya...cuaca cerah, matahari bersinar terik dan bersahabat dengan sesekali berhembus angin yang tidak terlalu kencang menyapa kami di Puncak tersebut. Terlihat semua rona wajah dan emosi dari rombongan pendaki kami sangat puas dan gembira setelah beberapa lamanya berjibaku dan berkompromi dengan track yang menanjak sehingga menguras seluruh emosi dan energi jiwa raga dari bawah kaki gunung Slamet, terbayar lunas oleh suguhan pemandangan dari pencapaian di Puncak Gunung Slamet. Tak ayal sebagian ada yang saling bersalaman untuk mengungkapkan kegembiraannya dalam mencapai puncak, bahkan ada seorang diantara rombongan pendaki dari Mahasiswa Purwokerto yang merayakan Ulang Tahunnya di atas puncak selain ada juga beberapa diantaranya yang baru pertama kali menjejakkan langkahnya di puncak suatu Gunung. Suatu pemandangan yang tidak kalah indah juga melihat reaksi mereka meluapkan kegembiraannya dengan pemandangan alam yang bisa dinikmati dari atas Puncak gunung Slamet.
Puncak Gunung Slamet merupakan sebuah pelataran luas yang menakjubkan dari padang pasir bercampur material khas gunung vulkanik, banyak berserakan beragam ukuran batu vulkanik di lahan puncak, dipuncak Gunung Slamet juga terdapat beberapa kawah aktif yaitu yang menurut sumber dimedia diberi nama Segoro Warian dan Segoro Wedi. Kawah-kawah tersebut masih mengepulkan asap putih tanda bahwa Gunung Slamet merupakan tipe gunung vulkanik yang masih aktif. Untuk bisa mendekati kedua kawah tersebut dipuncak, kita mesti menyusuri sambil melipir melewati punggungan jalur di areal puncak yang samar-samar sudah tercipta untuk mendekati kawah tersebut. Akan tetapi perlu diwaspadai apabila angin berhembus kearah pendaki sambil membawa kepulan asap dari kawah tersebut, karena dikhawatirkan akan membawa efek yang bisa berbahaya apabila asap gas dari kawah tersebut terhirup oleh pendaki, jadi disarankan apabila asap tersebut berhembus karena tertiup angin yang mengarah ke Pendaki maka segeralah untuk turun dan tidak berlama-lama berada di Puncak Gunung Slamet. Hal itu yang pernah diucapkan oleh warga sekitar kaki Gunung Slamet yang kami temui tentang bahayanya gas beracun dari kepulan asap yang dikeluarkan kawah Gunung Slamet di Puncaknya.
Suguhan panorama lain yang menawan dan menakjubkan diatas Puncak Gunung Slamet aalah kita bisa melihat 2 sosok Gunung yang berjejer dikejauhan, berdampingan satu sama lainnya dengan anggun dan perkasa seperti sepasang kekasih yang dalam diamnya menyimpan berbagai kemungkinan yang sulit diterka. Ke dua Gunung tersebut ialah Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Sungguh suatu suguhan lukisan alam yang maha sempurna yang berada di kanvas alam di Puncak Gunung Slamet.
menikmati pemandangan dari Puncak Gunung Slamet
bercengkrama di Puncak Gunung Slamet
kawah aktif di puncak Gunung Slamet
"bapak" berpose dengan latar belakan kawah Gunung Slamet

Setelah kami cukup mengambil beberapa dokumentasi dan mengisi perut sekedarnya untuk menambah energi, kamipun semua turun kembali menuruni puncak dengan tetap waspada namun relatif lebih cepat waktu tempuhnya, hanya kurang lebih 1 jam kami berhasil turun dari puncak melewati Pos 9 dan 1 jam kemudian kami berhasil tiba kembali di Pos 7. Dari Pos 7 ini rombongan saya yang hanya berjumlah 2 orang yaitu saya dan “bapak”, berpisah dengan rombongan pendaki 7 Mahasiswa dari Purwokerto, tentunya setelah kami mengisi perut lagi dengan bahan logistik yang tersisa, kami pamit turun duluan dengan pertimbangan kami bisa tiba di desa Bambangan sore hari  dan tidak ketinggalan angkutan yang hanya ada sampai batas sore hari dari Desa Bambangan. Akhirnya tak lebih dari 4 jam kami berhasil sampai turun ke desa Bambangan tepat saat hari menjelang sore. Adapun gaya yang kami pakai ketika menuruni jalur menuju desa Bambangan, sebagian besar kami menuruninya dengan berlari, sehingga memang perbedaan waktu tempuh antara mendaki dan menuruni Gunung Slamet cukup signifikan, waktu tempuh total tanpa istirahat ketika mendaki ialah sekitar 8 jam sedangkan waktu tempuh untuk menuruninya adalah setengahnya yaitu 4 Jam.
Setelah sampai di desa Bambangan, kamipun tak kesulitan menemukan mobil angkutan yang akan membawa kami turun dari desa Bambangan yang kemudian akan estafet kembali mengganti angkutan untuk menuju terminal Purwokerto dan pulang ke Jogja. Kebetulan saat itu ada mobil dari seseorang bapak-bapak yang habis mengantarkan kerabatnya ke desa Bambangan dan dia hendak turun kembali, jadinya setelah bernegoisasi disepakati ongkos yang mesti kami bayar per orang adalah Rp. 15.000,- ongkos yang sama yang mesti kami keluarkan ketika menuju desa Bambangan dari Batu Raden beberapa hari yang lalu dengan menaiki mobil sayuran. Di dalam proses perjalanan pulang dari desa Bambangan, lagi-lagi kami mendapatkan rekan seperjalanan, yaitu seorang pendaki dari Solo yang baik hati. Ternyata dengan mendaki kita juga bisa memperbanyak tali silaturahmi yang sehat dan polos dari orang yang baru pertama kali kita jumpai semenjak berangkat sampai pulangnya.  Setelah selesai menyantap bakso terlebih dahulu di desa Bambangan, akhirnya kami bertiga pun sudah meluncur dengan mobil carry menuruni jalan beraspal menjauhi desa Bambangan dan Gunung Slamet. Didalam mobil saya memilih untuk sejenak beristirahat...nun jauh disana tampak Gunung Slamet tersenyum dengan anggunnya dengan kondisi cuaca yang mulai berkabut menyelimutinya, senja hari di Gunung Slamet seperti menjadi pertanda bahwa kami harus segera kembali menuju habitatnya di peradaban kota yang  tampak sering kali lebih kejam ketimbang peradaban di alam gunung Slamet. Udara mulai terasa berbeda ketika kami menuruni jalan beraspal yang berkelok-kelok dari desa Bambangan menuju kebawah, namun tidak ada yang berbeda dari Gunung Slamet, ketika kami memandanginya dari jauh maupun berada dekat dipelukannya, sungguh sejuk dan indah memeluk jiwa yang resah gelisah....terimakasih atas karunia sang Maha Pencipta Keindahan, terimakasih Gunung Slamet dan warga sekitarnya atas pembelajaran dan keramah tamahannya, terima kasih buat para pendaki atas kehangatan solidaritasnya, dan.....terimakasih atas ketersediaan waktu dan kesabarannya membaca tulisan sederhana perjalanan saya....

"Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk". (Surah An Nahl 16 ; 15)

"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Surah An Naml 27 ; 88)

"Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat". (Surah  Faathir 37 ; 27)

“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita” 
― Soe Hok Gie, Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran

"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil..orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.."
― Soe Hok Gie, Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran


“Now I see the secret of making the best person: it is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.” 
― Walt Whitman

Mampirlah ke gubuk hatiku yang berada ditepi batas antara hutan dan ladang...memang tidak ada sesuatu yang istimewa di atas sana, melainkan hanya sebuah kesejukan dan kesederhanaan berbalut suka cita...
― Reza Gustav

Tidak ada komentar:

Posting Komentar