Rabu, 15 Mei 2013

KAUM TERPELAJAR TAWURAN ( ANARKIS ), RAKYAT TERLUKA ( MENANGIS )


“Anarkis dalam serapan pengertiannya dari bahasa asing anarchy ialah suatu keadaan (adjective=sifat)  yang lepas dari kontrol kekuasaan atau hukum , bisa juga di padatkan menjadi ketiadaan pemerintah atau penguasa.  Sedangkan Anarki memiliki pengertian sebagai orang (noun=kata benda) yang menganut Anarkis”.

....Masih melekat dengan jelas di ingatan beberapa waktu yang baru saja berlalu sebelum tulisan ini dibuat, bagaimana ane berdialektika dengan sahabat ane yang belum lama ini ane kenal, hanya saja dengan bokap ane sudah kenal lebih dahulu.  Tetapi tidak dengan pemikiran-pemikiran yang dia lontarkan, sebagian besar bahkan sudah pernah ane kenal, Nasionalis, cuman satu kata itulah yang bisa ane sematkan untuk menjelaskan pemikiran dan jiwa dari sahabat ane tersebut. Usianya sih boleh dibilang angkatan Om ane, tapi tidak dengan jiwanya, spirit jiwanya seangkatan sama ane.

Banyak hal yang kami diskusikan, tapi diantara sekian banyak hal tersebut, ane mau mengkrucutkan ke satu hal saja yang ane tuangkan kedalam tulisan ini, yaitu fenomena tawuran yang belakangan ini kerap terjadi di berbagai daerah di negeri ini, dan para pelakunya pun bisa dibilang adalah kaum terpelajar intelektual, sebut saja Pelajar dan Mahasiswa. Yang masih terekam kuat oleh ane adalah bagaimana respon dia yang geram melihat situasi yang terjadi terkait tawuran yang dilakukan oleh kaum terpelajar tersebut, bahkan sewaktu kami berdiskusi dan sebelum pulang dia menitipkan pesan yang cukup membuat ane terhenyak dan membuat ane malu karena ane merupakan bagian yang dipandangnya sebagai representatif dari kalangan kaum terpelajar (walaupun tidak lama lagi ane akan demisioner dari status Mahasiswa), adapun isi pesannya yaitu “boy, ntar klo lu balik ke Jogja dan ketemu sama temen-temen Mahasiswa elu, tolong lu sampein...gw mewakili rakyat merasa sedih, terluka dan menangis melihat kalian para Mahasiswa saling tawuran satu sama lainnya...jijik gw ngeliatnya, kalau kalian seperti itu lalu rakyat mesti menaruh atau menyandarkan  harapan kepada siapa lagi untuk membuat negeri ini semakin baik, dulu waktu bergulirnya reformasi yang menelan korban jiwa dari kalangan Mahasiswa (dia menyebut nama “Elang” dan Ibunya yang ikhlas dengan kepergiannya), rakyat menaruh harapan dan dukungan yang kuat kepada Mahasiswa untuk bisa membuat negeri ini semakin baik, karena dipandangnya Mahasiswa dalam salah satu fungsinya merupakan kontrol sosial dan sebagai satu-satunya elemen yang murni untuk memperjuangkan aspirasi dari rakyat, dia menganalogikannya dengan dari 10 Mahasiswa yang demonstrasi, 9 diantaranya murni tanpa pengaruh uang, hanya 1 yang karena uang. Lalu sekarang harus kepada siapa rakyat menyandarkan harapannya?” kurang lebih begitu isi pesan yang mengandung pertanyaan atas sebuah kegelisahan dari sebuah kekecewaan yang terus terang membuat ane merasa tergerak untuk membuat tulisan ini dan berusaha ingin menyampaikan pesan ini kepada sahabat-sahabat ane yang Mahasiswa.

Sebelum ane berdiskusi dengan sahabat ane yang nasionalis tadi, sebenarnya ane sudah sempat mengkomentari beberapa status facebook temen ane yang terkait tawuran Mahasiswa, yang terlintas dalam pikiran dan ane tuangkan dalam comment ane itu adalah bagaimana saat ini Mahasiswa gampang terprovokasi dan “ditunggangi” oleh berbagai faktor, baik itu dari dalam dirinya  sendiri (intern factor) maupun dari luar dirinya (extern factor). Ane mengambil sudut pandang kedua faktor itu secara umum yang akan ane  jabarkan dari sudut pandang ane pribadi dari tiap-tiap faktor tersebut.

Pertama adalah faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri sendiri dimana faktor ini dipengaruhi oleh ketidakstabilan  dan rentannya emosi yang dibumbui oleh kuatnya aroma ego atas nama kelompok (kolektif) yang bisa jadi di tanamkan (doktrin) melalui berbagai macam cara, salah satunya dari nyanyian ,yel-yel atau bisa juga cerita yang didengungkan sehingga bisa menimbulkan pengaruh ego (kebanggaan) terhadap kelompoknya.  faktor ini menjelaskan ketidakmampuan kecerdasan emosional diri sendiri dalam menyikapi ego kelompok  yang tumbuh didiri pribadi yang terakumulasikan secara kolektif kelompok sehingga menimbulkan ego berlebihan  atau garis keras yang memandang bahwa kelompoknya lah yang paling kuat dan hebat sedangkan diluar kelompoknya yang sejenis tidak lebih kuat dan hebat sehingga rentan bergesekan apabila ada pemicunya (provokasi) walaupun pemicunya terkadang merupakan hal yang sepele.

Kedua adalah faktor external yaitu faktor yang berasal dari luar diri sendiri.  Faktor ini lebih mengkrucut terhadap provokasi yang dihembuskan oleh provokator-provokator yang mendalangi atau menjadi aktor  intelektual yang mengarahkan timbulnya kerusuhan (chaos). Tak menutup kemungkinan, biasanya yang menjadi provokator dalam suatu kelompok adalah senior-senior yang memprovokasi juniornya dalam tingkatan atmosfer kelompok yang masih kental nuansa senior-junior yang nota benenya senior lebih superior daripada junior dan kudu di ikuti perintah ataupun kemauannya, sehingga akan berbahaya apabila senior-senior berwatak dan berkeinginan negatif  bisa menggiring juniornya ke dalam situasi yang negatif pula demi kesenangannya_baca kepentingan_ semata.

Lalu bagaimanakah kedua faktor tersebut bisa di tanggulangi dalam usaha preventifnya supaya bisa menekan fenomena tawuran yang akhir-akhir ini rawan meletus. Ane yangi kapsitasnya sebagai penulis sekaligus analisator (belajar) mencoba memberikan sedikit formula preventif yang ane kumpulkan berdasarkan pengalaman empirik ane yang nota benenya pernah dan masih sampai tulisan ini dibuat statusnya sebagai Mahasiswa.

Sebagai Mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar, sudah semestinya kita mesti cerdas dan kritis terhadap segala sesuatu yang akan kita serap dan terima, tak terkecuali doktrin-doktrin yang berasal dari luar diri kita. Indoktrinisasi bisa disampaikan melalui berbagai cara dan sarana, misalnya seorang senior bisa memanfaatkan kesenioritasannya untuk mendoktrin apa yang diinginkannya kepada juniornya dengan menggiring pemikiran dan perilaku junior-juniornya, hal itu akan efektif  ketika pola atmosfer (senior-junior) masih sangat kental terjadi disuatu lingkup ruang (institusi dll). Bersifat efektif karena cenderung bagi si pihak junior merasa ketakutan (inferior) ketika dia tidak mengikuti keinginan seniornya (superior), si Junior akan dideskreditkan dalam pergaulan dan aktifitasnya (konsekuensi moral), bahkan mungkin akan mengalami intimidasi fisik oleh si seniornya (konsekuensi fisik). Adapun salah satu sarana dalam mendoktrin bisa menggunakan lagu-lagu khas (mars) yang didalam isi lagunya bisa membangkitkan jiwa kolektifitas kebanggaan terhadap kelompoknya dan tentu saja hal tersebut merupkan salah satu sarana yg efektif dan rawan ditunggangi oleh kepentingan terselubung (vested interest) bagi pihak yang ingin menancapkan pengaruhnya dalam konteks pendoktrinan secara massif . hal yang senada dengan sarana lagu-lagu adalah dengan sarana cerita-cerita yang beralurkan pencitraan terhadap kelompoknya, sehingga dari cerita yang disampaikan bisa membangkitkan citra kelompok menjadi kuat bahkan kerap ada sisi pembandingnya dengan kelompok lain.  Jadi dari semua penjelasan sebelumnya terdapat hukum kausalitas dari pola “politik ketakutan dan pencitraan”, bagaimanakah kita mesti menyikapi pola-pola itu dengan sebaik-baik penyikapan sehingga kita bisa berkompromi terhadap dampak negatif dari pola-pola tersebut...

Kita sebagai makhluk yang berakal dan terpelajar, ada baiknya belajar untuk selalu bersikap skeptis (tidak gampang percaya), kritis, cerdas cerdik, dan berani yang dilandasi nurani. Ramuan ini masih bersifat umum yang bisa di integralkan lebih spesifik dan rinci sesuai dengan pola-pola pendoktrinan yang akan kita terima. Misal, untuk menetralisir ketakutan kita karena disadari atau belum disadari atmosfer senior-junior itu terkadang kita sendiri yang menciptakannya, maka mulailah dengan keberanian untuk merubah paradigma tersebut dalam pergaulan di institusi. Rubah iklimnya yang sebelumnya iklim strata menjadi egaliter (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Jadikan Mahasiswa yang lebih dulu masuk sebagai sahabat, bukan sebagai orang yang dihindari dan ditakuti (musuh; yang pasti kita menghindari untuk mendapatkannya). Caranya dengan hargai dan hormati eksistensinya secara proporsional sesuai dengan etika/kearifan yang disepakati, jauhi pemikiran untuk segan berinteraksi dengan mereka. Sikap skeptis dan kritis juga perlu kita usung dalam pergaulan kita terhadap semua elemen dan semua hal yang menyangkut elemen tersebut, misal ketika kita sudah bisa beradaptasi dengan nyaman dengan mahasiswa yang lebih dulu masuk, tentu saja pengalaman dan cerita dia yang kaitannya terhadap kehidupan di institusi lebih banyak ketimbang kita yang baru saja masuk, serap ceritanya (pola-pola lainnya) dengan skeptis dan kritis. Implementasinya yaitu dengan mengambil sisi cerita (selektif) yang positif dan konstruktif serta sesuai dengan karakter kita, jangan memaksakan untuk menerimanya dengan mentah-mentah.  Cerdas dan cerdiklah dalam mengimbanginya, karena tak menutup kemungkinan ketika kita berinteraksi dengan mereka, disadari atau tidak disadari oleh kedua belah pihak di ditu terdapat pola-pola pendoktrinan dan kepentingan-kepentingan terselubung yang diusung. Misal ketika orang lain yang berusaha memasukkan pola kecendrungan seperti itu dan sedikit banyaknya ada tekanan/pressure baik moral maupun kemungkinan fisik apabila kita tidak setuju dengan itu, kita mesti cerdas dan cerdik dalam menangkalnya, salah satu implementasinya ialah dengan mengalah dengan tidak secara frontal menolak keinginan mereka tetapi secara halus menolak dengan meminimalisir rasa kecewa mereka dengan sikap berseberangan kita (kompromis). Namun apabila kita sudah menjalankan seperti itu masih mendapatkan perlakuan yang merugikan kita, maka beranilah untuk menghindarinya secara reaktif, itupun mesti dilakukan dengan cerdas dan cerdik juga, misalnya dengan reaksi kita pergi karena ada sesuatu hal yang ingin dikerjakan ketimbang bersitegang yang menjurus ke perkelahian. Mengalahlah untuk menang. Hindari sekuat tenaga dan cara untuk kita menyelesaikan sesuatu masalah dengan adu otot, lebih baik adu otak karena itu lebih beradab. Kita sekarang bukan hidup di zaman purba dimana otot tenaga sangat diperlukan untuk survive hidup dizaman itu (berburu dan diburu), kita sekarang hidup di zaman modern yang lebih beradab, dimana otot dan tenaga bukanlah sesuatu hal tunggal yang prioritas dalam menjalani kehidupan, namun dibutuhkan juga integritasi otak dan pemikiran yang cerdas sehingga bisa survive dengan baik dalam menjalani kehidupan sekarang ini yang tidak kalah keras dengan kehidupan sewaktu dizaman purba

Dari semua penjelasan yang maaf kalau tidak sistematis (acak-acakan), ane cuman ingin menumpahkan kegalauan-kegalauan ane terhadap fenomena kerusuhan yang terjadi dewasa ini, khususnya yang melibatkan kaum terpelajar yang lepas kontrol ketika menyikapi sesuatu permasalahan yang ada. Seperti prolog tulisan ane di paragraf pertama yang menjabarkan arti dari anarki/anarkis, yang dimana dari dimensi berpikir ane menjelaskan bahwa  para kalangan terpelajar itu kehilangan kontrol kekuasaan atas diri mereka sendiri, baik secara emosi naluri dan secara kecerdasan intelektual. Berusahalah dengan sekuat tenaga untuk berpikir panjang dalam menghadapai segala persoalan yang dihadapi, karena apabila tidak demikian adalah keniscayaan apabila banyak pihak bahkan diri sendiri yang akan dirugikan kedepannya. Banyak jalan menuju Rhoma kawan, sungguh ther-lha-lhu apabila kita memilih jalan yang bisa membuat banyak pihak malu dan menangis bahkan menyusahkan, alih-alih nyampe ke Rhoma eh malah nyampenya ke penjara! Think about it buddy!

Sebelum ane mengakhiri uneg-uneg ane ini, ane hanya ingin mengajak kita semua flash back terhadap perjuangan sahabat-sahabat kita Mahasiswa angkatan reformasi yang berhasil menggulingkan kekuasaan yang diktator, dimana mereka banyak berjuang dengan berkorban tenaga, pikiran, materi bahkan dengan darah mereka demi mewujudkan cita-cita kondisi Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya dimana rakyat berdiri disamping mereka, bukan dibelakang. Berusahalah sekuat-kuatnya jangan sampai terjadi lagi karena ulah kita yang ceroboh, rakyat mundur ke belakang karena kecewa, menangis kemudian menghujat kalangan terpelajar yang telah melukai perjuangan yang telah dibangun bersama sejak dahulu kala jauh sebelum Indonesia merdeka, ingat bahwa dari kotornya nila setitik, bisa rusak susu sebelanga! Bersatulah wahai kawan terpelajar, rangkul kembali rakyat berdiri di samping kita, bersama-sama kita BONGKAR dan singkirkan setan-setan yang berdiri mengangkang di segala lini dimensi kehidupan di Indonesia dan dunia!

“Dadi siji mesti MULYO, tercerai berai artinya bencana”
“ singsingkan lengan baju dengan rakyat disamping kita, maju bersama menuju Indonesia... MERDEKA!”

Add Note : ane ucapkan terimakasih buat bang Joni Arde (Ketua Front Pembela Merah Putih DPC Kalianda Lampung Selatan) atas inspirasinya yang ane dapatkan ketika kita berdiskusi dirumah ane. Mudah-mudahan apa yang abang pesankan bisa tersampaikan ke kawan-kawan Mahasiswa  melalui artikel uneg-uneg ini. Amin.

Kalianda Lampung Selatan, 24092011. @rumah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar