Rabu, 15 Mei 2013

MENGGIGIL DI GUNUNG BROMO MENGGELINJANG DI PULAU SEMPU


Bismillahirrohmanirohim....
Assalamualaikum Warrohmatullohiwabarokatuh...
Sisi A : Menggigil di Gunung Bromo
Siang itu tanggal 2 November 2011 cuaca cukup cerah pada siang yang merambat sore, sekitar pukul 13.30 WIL (Waktu Indonesia Lumajang), mengawali dari desa Jati Roto Lumajang Jawa timur, saya memacu kendaraan menuju kawasan Gunung Bromo dengan  motor bebek yang saya dapat dari kemurahan hati pemilik kendaraan yang menawarkan kendaraannya yaitu sepasang pengantin baru dimana kedua sejoli itu juga, terlebih sang pengantin pria merupakan sahabat karib saya.

Suhu masih cukup terik ketika saya sudah melaju cukup kencang di Jalanan, baru sekitar tak jauh dari kawasan perbatasan Lumajang-Probolinggo cuaca berubah, hujan mulai menyergap saya diperjalanan. Turunnya hujan yang cukup lebat tak serta merta mensurutkan keinginan saya tuk berusaha mendekati areal Gunung Bromo, saya hanya berhenti sejenak untuk memakai jas hujan yang ada di bagasi motor kemudian melanjutkan perjalanan kembali dibawah guyuran hujan. Memang selama perjalanan mendekati Gunung Bromo saya sempat berhenti beberapa kali namun tidak lama, beberapa diantara faktor penyebabnya, selain perubahan cuaca juga faktor kehilangan orientasi petunjuk arah ketika bertemu jalan yang bercabang sehingga sayapun mengantisipasinya dengan berhenti sejenak untuk mencari informasi perihal petunjuk jalan yang mesti saya lalui melalui masyarakat yang saya temui di pinggir jalan. Selain diawali dengan doa, dibutuhkan tekad dan mental (ikhtiar) yang kuat juga ketika dalam menjalanani suatu proses yang mempunyai tujuan, dihadapkan pada beberapa hal yang bisa memperlemah bahkan memadamkan tekad dan mental kita untuk bisa mencapai apa yang ingin kita capai. Oleh sebab itu menjaga niat, tekad dan mental agar tetap menyala merupakan hal yang vital dalam kita mencapai suatu tujuan yang kita inginkan.

Hujan disertai angin masih cukup deras menerpa tubuh saya yang mengendarai motor dengan tingkat waspada yang tinggi di sepanjang ruas jalan aspal masih di dalam wilayah purbolinggo, tepatnya ketika akan akan memasuki daerah Sukapura yang sudah mulai meliuk-liuk lagi menanjak dengan sesekali dibeberapa bagian ruas jalan yang dilewati, sisi dikedua tepi jalan merupakan jurang yang menganga namun sayangnya dibeberapa bagian tidak terdapat bangunan pembatas dan pengaman sehingga akan sangat fatal akibatnya apabila pengendara yang melintasi jalur tersebut tergelincir yang mengarah ke sisi jalan. Barulah setelah memasuki Sukapura yang dilihat karakteristik alamnya sudah berada di areal yang cukup tinggi dipegunungan, hujan tidak lagi menerpa saya. Namun udara sudah mulai terasa dingin menusuk pori-pori kulit, dikanan kiri terhampar badan pegunungan dengan relief-relief punggungan yang seperti ulir untuk pengocok telur dengan didominasi warna hijau dari beragam pohon yang tumbuh disana dan dipercantik dengan konfigurasi dari petak-petak lahan perkebunan yang berjejer rapi dengan beberapa bagian lahan lainnya merupakan pemukiman rumah penduduk. Sungguh suatu kolaborasi penataan letak dengan suguhan panorama alam yang memanjakan mata untuk sekedar memandangnya. Dari sini perasaan bahwa saya berada disuatu alam dengan nuansa yang asing namun meneduhkan mata dan jiwa mulai merasuk kuat dalam diri saya. Hal itu sering teralami, walaupun pengalaman berada di areal pegunungan bukan kali ini saja, apakah hal ini lah yang justru membuat saya atau mungkin sama yang orang lain rasakan ketika kerap rindu untuk ke Gunung dan merasakan sensasi seperti itu? Suatu perasaan yang kompleks untuk di beberkan secara detail....

Udara bertambah dingin dengan terpaan angin sore yang semilir, diufuk barat terpampang spektrum warna senja yang menyeret perasaan saya ke nuansa dimensi romantika lampau yang klasik ketika saya berhasil menambah ketinggian perjalanan saya (masih) melalui jalan yang beraspal selama kurang lebih 3 jam dari awal keberangkatan, sehingga akhirnya saya berhasil mencapai suatu areal di desa ngadisari, areal yang merupakan tempat yang populer dengan view (pandangan mata) yang luas dan cukup strategis untuk melihat keindahan panorama alam Gunung Bromo yang disampingnya juga berdiri dengan gagah dan kokoh Gunung Batok dengan hamparan padang berpasir yang melingkupi sekaligus menjadi alas di areal di antara Gunung-gunung yang berada di sekitar Bromo.

Gunung Bromo  dengan ketinggian 2.329 MDPL (Meter Diatas Permukaan Laut) merupakan sebuah Gunung bertipe vulkanik yang ditandai dengan dikawasan puncaknya terdapat kawah yang masih aktif mengeluarkan asap, menunjukan bahwa gunung ini masih aktif dan fluktuatif beraktifitas sebagai gunung bertipe vulkanik. Bahkan beberapa waktu yang lalu sebelum saya ke areal kawasan Bromo, kawasan tersebut beberapa kali di tutup dan terlarang sementara bagi pengunjung yang ingin mendekatinya dikarenakan aktifitas vulkanik dari Bromo sedang dalam tahap yang mengkhawatirkan bagi keselamatan pengunjung dari luar kawasan maupun  masyarakat yang berada dekat dari Bromo. Terlepas dari fenomena alam yang melingkupi histori Gunung Bromo terkait konsekuensinya sebagai gunung berkarakter vulkanik, bisa terkompensasi dengan nilai yang setara di sisi lainnya seperti  aura hipnotis yang membuat decak kagum di iringi perasaan yang teduh dan lembut yang dihadirkan oleh suasana alam berpadu dengan nuansa lokal dari masyarakat sekitar Bromo yang didominasi dan lebih dikenal dengan masyarakat Suku Tengger yang konon menurut beberapa versi cerita yang berkembang yang diantaranya asal usul Suku Tengger merupakan pelarian dari sebagian masyarakat zaman kerajaan Majapahit dahulu kala dengan beragam alasan dan motif  yang mengerakan kejadian tersebut.

Setelah sempat mengambil dokumentasi baik itu berformat foto maupun video yang saya ambil sendiri dengan handy cam punya sendiri (hehehehe,akhirnya setelah sekian lama..), dengan latar belakang Gunung Batok dan Bromo walaupun udara saat itu sudah cukup membuat saya sesekali menggigil karena suhu mulai bertambah dingin ketika beranjak senja yang ditandai oleh semburat lembayung senja berwarna merah ke-emasan di atas langit Bromo, lalu kabut mulai terbentuk di beberapa bagian kawasan Bromo tidak membuat saya untuk segera meninggalkan kawasan tersebut untuk kembali ke Lumajang, bahkan sebaliknya saya merasa tanggung untuk lebih mendekat lagi ke Bromo, walaupun saat itu posisi saya yang berada di atas punggungan diareal desa Ngadisari sudah terbilang cukup dekat dengan Bromo. Lalu saya putuskan untuk turun ke lautan pasir dikawasan padang pasir Gunung Bromo.  Dengan tekad masih membara diantara sergapan udara dingin dan pencahayaan alam alami yang mulai redup di kawasan Bromo, saya mulai menyusuri jalan aspal menurun nan berkelok yang berada di tubuh punggungan yang berujung di areal pasir yang luas dan datar, tak butuh waktu lama namun tetap hati-hati saya sudah berada di lautan pasir Bromo dengan tunggangan saya yang beroda dua, lalu sayapun berusaha mengeksplorasinya dengan berusaha mendekati areal yang terdapat bangunan Pura (tempat ibadah umat Hindu) yang terletak tepat tak jauh dari kaki gunung Bromo. Sewaktu saya sedang asyik mendokumentasikan moment di padang pasir tersebut yang tak jauh dari Pura, terlihat sesosok bapak-bapak penunggang kuda mendekati saya yang kemudian saya tahu dari beliau bahwa beliau merupakan salah satu masyarakat sekitar yang tergabung dalam paguyuban penyedia jasa transportasi kuda bagi pengunjung yang ingin mengeksplorasi areal berpasir di Bromo. Setelah saling bertegur sapa, bapak itu kemudian menawarkan jasanya mengantarkan saya dengan menaiki kudanya mendekati kaki Gunung Bromo dimana disitu terletak gerbang bagi pengunjung untuk menaiki tangga yang akan menghantarkan pengunjung ke kawasan puncak dan melihat kawahnya. Beliau menjelaskan untuk biaya transportasi sekaligus guide dari beliau sebesar Rp. 100.000,- pulang pergi. Saat itu kondisi uang saku yang saya bawa sebenarnya cukup untuk nominal yang disebutkan, namun mengingat dan mempertimbangkan bahwa saya masih ada satu tujuan lokasi wisata lagi yang keesokan harinya akan saya tuju dan saat itu hari sudah mulai menjelang maghrib, akhirnya saya mengambil jalan kompromis untuk tetap bisa memakai jasa bapak tersebut, dengan belajar mengendarai kuda berputar-putar kecil di areal tak jauh dari titik saya bernegoisasi. Akhirnya setelah bernegoisasi, dengan tarif Rp.20.000,-  dengan dipandu dan didokumentasikan lewat video dari handy cam milik saya oleh bapak tersebut, saya mulai belajar dari menaiki kuda sampai saya belajar mengendalikan arah dan laju dari kuda tersebut. Bagi saya pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang baru dan unik sekaligus cukup menantang, bagaimana tidak...saya belajar mengendarai kuda tersebut dengan sendiri berada di punggung kuda, instruksi dan petunjuk hanya disampaikan oleh bapak pemilik kuda dengan posisi tidak berada bersama dipunggung kuda yang saya tunggangi, sehingga hal tersebut cukup membuat degup jantung saya cukup berdetak tidak teratur, apalagi ketika laju derap kuda tersebut tiba-tiba berubah agak kencang sehingga terkadang keseimbangan saya agak limbung dan yang saya khawatirkan saya akan jatuh dan akan menimbulkan permasalahan serius terhadap hal tersebut. Tetapi kekhawatiran saya tersebut tidak terjadi karena saya cukup baik bisa mendengar dan menerapkan arahan yang diteriakan oleh bapak tersebut walaupun sepertinya kursus kilat yang dilakukan oleh saya dalam berkuda tidak juga bisa dibilang cukup lancar dan sempurna hasilnya, hal tersebut terlihat dan terasa beberapa kali kuda yang saya tungangi tersendat-sendat jalannya bahkan kadang mandeg berjalan walau sesaat dikarenakan sepertinya arahan dari tali kekang yang saya gerakkan tidak singkron dan masih kaku dalam menggunakannya sehingga menyebabkan si kuda mungkin bingung dengan saya. Kalau tidak mengingat tentang riwayat yang menganjurkan untuk umat Rasulullah untuk belajar memanah dan berkuda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Uqbah yaitu salah satu sahabat Rasul yang mendengar sabda Rasulullah yang berisi "Berlatihlah memanah dan berkuda. Dan jika kalian memilih memanah maka hal itu lebih baik daripada berkuda." (AHMAD - 16699) mungkin semangat saya untuk belajar berkuda akan luruh dan surut walaupun dari sabda tersebut mempunyai konteks edukatif yang luas dalam menyikapinya terkait dengan karekter zaman sekarang. Tetapi di tengah kegalauan ketika berusaha mengendarai  kuda dengan baik, sempat terselip pikiran dan imaginasi usil saya ditengah kondisi yang galau antara saya dan kuda tersebut untuk mempraktekan keampuhan mantra dari nyanyian salah satu lagu anak kecil yang kalau tak salah judulnya “pada hari minggu” dengan bagian lyric mantranya yang berbunyi “...naik delman (kuda) istimewa kududuk dimuka...supaya kuda baik jalannya” permasalahannya adalah jawaban dari pertanyaan yang timbul adalah “muka siapa yang mau dengan ikhlas dikorbanin buat saya dudukin supaya jalannya si kuda bisa baik dan lancar?” masak saya tega menyuruh bapak pemilik kuda itu mempersembahkan mukanya untuk saya dudukin? Kan gak lucu...masih syukur saya bisa keluar dari kawasan tersebut dengan selamat wal afiat setelah menduduki muka sang bapak pemilik kuda baik tanpa atau dengan dipaksa, kalau enggak? gimana nasib janda-janda kembang dan perawan tua..entahlah saya tidak bisa membayangkannya dengan cukup rasional dan logis...(ini hubungannya apa tho? Yang mabok saya apa kudanya ya?)....ternyata saya juga selain berusaha belajar berkuda, saya juga saat ini berusaha belajar untuk melucu (emang lucu ya?kalau dibilang gak, Benjol!) untuk catatan yang sejauh ini terasa serius...nah untuk deskripsi keruwetan pikiran saya untuk menjelaskan nikmatnya belajar berkuda, saya sudah siapkan video dokumentasi yang akan saya sertakan di catatan saya ini tentang belajar berkuda dan pemandangan dari view areal desa Ngadisari. Jadi siapkan sabuk pengaman dan pasang helm anda, pastikan bunyi “klik” ketika hendak memutar videonya....

Tak terasa sekitar satu jam saya berada di areal lautan padang pasir dengan berbagai aktifitas yang saya lakukan di tempat itu, ketika saya baru benar-benar sadar ketika melihat jam di tangan saya sudah hampir tepat menunjuk angka 6 akhirnya sayapun mengakhiri segala sesuatunya di tempat itu dan segera melipir dari tempat itu dan segera mendaki lagi dengan kuda besi berkaki dua yang saya pinjam dari sahabat saya untuk kemudian segera pulang menuju kandang dari kuda besi tersebut. Keadaan sekitar areal padang pasir tampak sunyi dan sepi serta tampak asing dengan suhu udara yang teramat dingin sehingga menambah intensitas menggigigilnya badan saya baik sewaktu saya menggigil karena khawatir saat masih belajar berkuda sampai saya meninggalkan tempat itu. Tampak berbeda sekali aura dan nuansa yang dihadirkan ketika hari mulai gelap, selain bertambah dingin, yang berbeda adalah ketika memandang sekeliling kawasan Bromo, terlihat dan terasa seperti berada di suatu dimensi ruang asing sekaligus cukup mencekam dengan objek samar raksasa dari gunung-gunung yang ada disekitar areal Bromo, dimana menurut imaginasi saya tempat tersebut mungkin dahulu kala menyimpan berbagai peristiwa yang istimewa dari sebuah peradaban manusia....
Angin malam yang dingin sesekali menampar tubuh yang berada diatas motor ketika saya sudah mulai berada dalam laju tunggangan kendaraan yang saya jalankan sendiri tanpa ada teman manusia berada di depan atau belakang saya, hanya saya dan motor seperti ketika saya berangkat menuju Bromo siang harinya...keadaan yang hampir serupa juga pada saat menuju datang ke Bromo ketika di beberapa bagian daerah yang saya lalui sebelum sampai ke tujuan pulang ketika malam telah terbentang, saya sempat mengalami kehujanan. Yang berbeda adalah waktunya...terang dan kelam, siang dan malam...suatu pola keseimbangan. Ad infinitum sampai terompet Sangkala mengakhirinya, namun satu persamaannya...yaitu sama-sama menyimpan pesona aurora keindahannya sebagaimana Gunung Bromo yang merupakan salah satu dari sekian banyak Ciptaan-Nya yang indah dan gagah terbentang di Alam Semesta Raya.....

Sisi B : Menggelinjang di Pulau Sempu
Pagi yang sejuk, sang surya perlahan-lahan mulaimenyapa dengan sesekali terdengar kicauan burung menambah semaraknya suasana pagi itu tanggal 3 November 2011 ketika saya sudah bersiap-siap kembali melanjutkan perjalanan saya menuju tempat indah lainnya di sudut wilayah Jawa timur. Setelah saya berpamitan terhadap si empu rumah (familiar dipanggil “bude” yang juga tetangga dari pengantin baru sahabat saya) yang baik hati karena telah menjadi rumah singgah dan tidur saya selama berada di Lumajang. Setelah selesai berkemas sayapun dengan di antar oleh sepasang suami istri baru sahabat saya, memulai kembali perjalanan saya menuju ke Malang yang pada akhirnya akan berlabuh ke Pulau Sempu bersama tiga sahabat saya dari Jogja yang terlebih dahulu sudah sampai duluan disana menantikan kedatangan saya untuk bersama-sama berlabuh ke Pulau Sempu. Dari Lumajang saya estafet dua kali_setelah transit dan berganti kendaraan di terminal Pasuruan_ memakai kendaraan umum Bus ekonomi menuju Malang dengan menghabiskan waktu kurang lebih lima jam perjalanan. Adapun ongkos yang dikeluarkan dari Lumajang ke Pasuruan Rp. 11.000,- sedangkan dari Pasuruan ke Malang Rp. 9.000,-.

Selama perjalanan, didalam bus saya mengalami berbagai realita pengalaman tentang fenomena kehidupan di sana, salah satunya yang membekas dan menurut saya perlu saya ungkapkan di sini supaya dari kejadian ini bisa di jadikan info yang bermanfaat adalah  tentang modus penipuan yang terjadi didalam bus. Modus penipuan itu dilakukan oleh komplotan/sindikat berjumlah dua orang yang berpura-pura sebagai penumpang bus atau kadang salah satunya mengaku sebagai sopir cadangan bus. Biasanya yang berpura-pura sebagai penumpang bus akan bercerita tentang kondisi dirinya ke penumpang disekitarnya, bahwa dia sedang mengalami kondisi keuangan yang sulit selama perjalanan dengan berbagai macam alasan seperti kehilangan harta benda selama perjalanan ataupun karena kepepet butuh uang untuk keperluan yang mendesak sehingga dia menawarkan Jam tangan emas imitasi/palsu dengan dihargai sampai ratusan ribu bahkan jutaan, padahal harganya sebenarnya jauh dari harga yang di tawarkan. Lalu rekan satunya yang berpura-pura mereka tidak saling kenal, berusaha meyakinkan penupang-penumpang lainnya bahwa jam tangan itu adalah benar asli dan akan berusaha membuat penumpang calon korban penipuan untuk tidak melewatkan kesempatan itu untuk mau membayar seharga yang ditawarkan oleh rekannya yang mempunyai jam tersebut dengan tipu daya bahwa harga yang ditawarkan itu murah. Hal tersebut saya temui dua kali, yaitu pada saat saya sedang berangkat dari Surabaya ke Lumajang untuk menghadiri acara pernikahan sahabat saya dan pada saat saya akan menuju ke Malang untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Sempu. Hanya saja pada kasus yang pertama, saya lihat mereka berhasil mengelabui salah satu penumpang yaitu ibu-ibu yang saya rasa merupakan warga salah satu daerah di Jawa Timur,tetapi pada saat itu saya belum menyadari sepenuhnya akan modus mereka, saya sadar ketika ada penumpang disamping saya yaitu bapak-bapak tua memberitahu saya bahwa mereka itu sebenarnya adalah penipu sehingga pada kasus yang kedua,yaitu pada saat komplotan dengan modus seperti itu secara langsung mendekati saya dan berusaha untuk menipu saya, dengan cukup tenang saya berhasil membuat mereka frustasi karena tidak mempan upayanya untuk mengelabui saya. Jadi bagi anda-anda yang melakukan perjalanan kemana saja dan memakai moda transpotasi apa saja untuk lebih waspada terhadap modus-modus penipuan yang menurut saya juga menyelipkan usaha penghipnotisan menggiring konsentrasi pikiran dari sang calon korban untuk mau menuruti kemauan mereka. Usahakan untuk tidak memperdulikan obrolan mereka dan saya sarankan untuk jangan memilih bangku yang sepi atau jauh dari konsentrasi keramaian penumpang lainnya. Kejahatan selain dapat terjadi karena ada kelengahan karena kurangnya pengetahuan dari penumpang, niat dari sang oknum dan kesempatan yang ada, itu juga karena faktor ekonomi, dimana ditingkatan masyarakat bawah kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang halal dan layak dari segi pendapatan dikarenakan juga oleh berbagai macam faktor pemicunya.

Cuaca siang itu sangat terik, sekitar ba’da Dzuhur akhirnya saya sampai juga di terminal Arjo Sari Malang, lalu kemudian mengganti angkutan bus dengan angkot berlabel AL (Arjosari-Landung Sari) untuk menuju ke daerah sekitar Stasiun Kota Baru Malang dimana rekan-rekan saya yang berjumlah tiga orang sudah terlebih dahulu sampai pada pagi harinya dari Jogja dan menunggu saya di base camp Hipama_salah satu Kelompok Pencinta Alam_yang posisinya dekat dari Stasiun, adapun rekan-rekan saya itu terdiri dari dua Pria (“Dudunk” dan “Berang”) dan satu orang wanita jadi-jadian (“Haik”...piss yeee..hehehe). Setelah saya berhasil menemui mereka, sayapun segera larut dalam suasana yang ada di dalam camp Hipama, cukup banyak manusia didalamnya yang saya perhatikan sedang membicarakan tentang isyu lingkungan. Lalu kemudian suasana yang serius itu cair ketika kami bersama-sama bernyanyi dengan akrabnya walaupun baru pertama kali kenal dengan anggota-anggota Hipama, di iringi suara gitar dan hentakan Jimbe lagu-lagu sarat dengan lirik edukatif pun mulai bergema di ruangan Hipama....

“Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Dengan HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu...
Oh mengapa.....
Oh...oh...ooooo......
Jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang 
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja
Oh...oh...ooooo......
Jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia”

Lagu “isi rimba tak ada tempat berpijak lagi” milik Iwan Fals diatas mengalun dengan lantang dan koor keluar dari dalam diri kami selain lagu-lagu lainnya seperti “Sayidan” milik Shagy Dog. Setelah dirasa cukup untuk bersilaturohim dan bersosialisasi dengan arek-arek Hipama Malang, akhirnya kami berempat memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan kami menuju Pulau Sempu dengan waktu tempuh kurang lebih lima jam Jam (sudah termasuk waktu transit dan nge-tem kendaraan) dari Kota Malang ke daerah pelabuhan Sendang Biru yaitu ujung daerah Malang Selatan  untuk  menyeberang ke Pulau Sempu.

Untuk info akses menuju Pulau Sempu dengan asumsi dari Jogja bisa saya terangkan sedikit, pertama dari Jogja menggunakan Kereta Api ke Stasiun Kota Baru Malang dengan tiket Rp.  35.000,- lalu di lanjutkan dengan 2 kali transit, yaitu ke terminal angkot Gadang dengan menggunakan angkot berlabel AMG Rp. 2500,- dari Stasiun dengan waktu tempuh sekitar setengah jam, kemudian Gadang ke Pasar Turen dengan menggunakan bus ekonomi ¾ ke Pasar Turen Rp. 3000,-  waktu tempuh sekitar 1 jam. Setelah itu dari Pasar Turen dilanjutkan dengan mobil sejenis angkot menuju Pelabuhan Sendang Biru Rp. 15.000,- dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam dan terakhir untuk sampai ke Pulau Sempu kita mesti menyewa perahu bermesin yang banyak disewakan oleh masyarakat sekitar  Pelabuhan dengan tarif Rp. 100.000 pulang pergi dengan kapasitas penumpang perahu bisa sampai 7 orang dan waktu tempuhnya sekitar setengah jam dari dan ke Pelabuhan Sendang Biru.

Di dalam proses perjalanan menuju Sendang Biru, kami berempat sempat berbelanja logistik dulu seperti bahan makanan dan minuman serta obat pencegah Malaria, dimana hal tersebut penting ketika kita akan beraktifitas cukup lama di daerah pantai.  Selama perjalanan kami berempat banyak sekali bersenda gurau baik terhadap kami sendiri maupun dengan beberapa penumpang lainnya yang berada dekat duduknya dengan kami di dalam kendaraan. Obrolan-obrolan dari yang serius maupun yang konyol banyak menghiasi suasana siang menjelang sore didalam kendaraan yang melaju cukup tenang setenang dan segembira kami menyongsong setiap daerah yang kami lewati menuju ke sendang Biru. Bahkan rekan saya “Berang” sempat asyik berbincang-bincang bermodus merayu seorang gadis remaja asli Malang yang duduknya pas disamping dia. Mantra-mantra saktipun terdengar meluncur lancar dari mulut dia yang sesekali terlihat seperti mulut buaya.hahahaha...sehingga tak heran ketika dia berhasil mendapatkan  nomor HP gadis remaja tersebut. Sedangkan kami bertiga melihat kelakuan Berang hanya bisa memaklumi kesaktian dari pesona “Buaya” yang dimiliki oleh Berang yang mungkin reputasinya sudah terkenal seantero Jagad setingkat Dewa. Tetapi tak bisa dipungkiri, hal tersebut hanyalah segelintir cara kami untuk membunuh jenuhnya perjalanan kami menuju tujuan.

Selama perjalanan, saya pun sempat mendokumentasikan beberapa wajah karakter kondisi alam dan wajah-wajah masyarakat sekitar yang kami temui dari dalam kendaraan, sungguh suatu hal yang membuat saya dan mungkin juga oleh rekan-rekan saya, menimbulkan suatu percikan-percikan perasaan yang syahdu berbalut romantika senja di awang-awang kalbu kami, ketika secara fisik dan jiwa bisa dekat dan bersentuhan langsung dengan situasi dan kondisi aura kehidupan masyarakat dan alam di sana. Beberapa kali saya lihat, rasakan dan dengar dari wajah-wajah dan suara kegembiraan dan kelembutan rekan saya ketika mereka berusaha menikmati perasaan damai tersebut dari dalam kendaraan yang sedang melaju, salah satu indikasinya adalah si “Haik” rekan saya yang nota benenya wanita (atau mungkin juga setengah pria?) satu-satunya di rombongan kami, sempat beberapa kali tertangkap oleh indera penglihatan dan radar pendengaran kami asyik menyanyikan beberapa lagu dengan asyiknya yang kadang kontras atau bahkan mungkin sama dengan lagu-lagu yang kami dengar dari rumah beberapa warga masyarakat yang terlihat sedang ada hajatan pernikahan dengan di iringi hiburan musik khas Jawa Timurannya yaitu musik dangdut koplo “Ashalole”. Haik bahkan sempat di goda oleh Dudunk ketika dudunk menanyakan kepada saya dan Berang apakah kami berdua ada yang membawa head set HP atau tidak, karena dia ingin mendengar lagu-lagu yang disenandungkan oleh Haik dengan jelas karena terdengar si Haik menyenandungkannya dengan lirih dan pelan suaranya (sok syahdu.hihihi), sehingga terdengar seperti orang yang sedang menggumam (atau menggelinjang?hihihi). memang tak butuh waktu lama antara kami untuk bisa akrab satu sama lainnya, walaupun memang didalam rombongan kami berempat itu si Haik merupakan sahabat baru khususnya diantara saya dan dua rekan saya yang Pria. 

Setelah terlebih dahulu melewati Desa Gedog Wetan-Desa Druju Sumber manjing Wetan yang kondisi alamnya sudah mulai berbukit-bukit sehingga kendaraan yang kami tumpangi sudah mulai menanjakinya, syukurnya jalanannya terlihat sudah cukup bagus dengan jalanan beraspal yang cukup mulus sehingga setidaknya bisa mengkompensasi “derita” akibat jalannya yang berkelok-kelok khas karakter jalan yang berada di pegunungan. Terlihat lahan dikiri kanan yang kami lewati selama berada di dalam kendaraan, ditanami oleh beragam tanaman produktif perkebunan dan pertanian yang ditanami oleh warga-warga sekitar. Keberagaman tanaman itu seperti pohon Sengon, Cengkeh, Kelapa, Pisang, dan bawang bisa terlihat di areal wilayah Mulyosari dan diperkebunan Tegal Rejo. Selain suasana hijau yang menyegarkan itu, ada satu hal juga yang membuat “segar” jiwa saya yaitu suasana religi yang ditampilkan oleh masyarakatnya. Masyarakat (santri) di beberapa daerah yang kami lewati terlihat banyak memakaisarung yang sepertinya hal tersebut memang merupakan salah satu style khas berpakaian sehari-hari masyarakat di sana.
Akhirnya setelah beberapa lama menempuh perjalanan yang memiliki beragam cerita yang menyertainya, akhirnya kami sampai juga di Pelabuhan Sendang Biru, suatu wilayah di Selatan Malang. Saat itu suasana senja sudah terasa pekat mengelilingi desa Tambak Rejo dimana Pelabuhan Sendang Biru berada di dalamnya. Matahari senja yang hangat dan remang-remang seakan-akan menyambut kedatangan kami berempat. Nun jauh di cakrawala tersemburat lembayung senja dengan warna awan merah ke-emasan  menambah klasiknya suasana wajah desa Pelabuhan. Setelah membayar ongkos ke supir, kamipun segera disambut oleh pak Mamik warga sekitar yang jeli melihat dan merasakan bahwa kami merupakan sekelompok anak muda yang hendak berkunjung ke Pulau Sempu, sehingga dia pun segera menawarkan kami untuk singgah di rumahnya untuk ke esokan harinya kami memakai jasa penyebrangan melalui dia. Setelah berkompromi antar kami sendiri dan dengan pak Mamik akhirnya kami putuskan untuk menerima tawaran dia. Memang sebelumnya kami berencana untuk tidak bermalam di Sendang Biru, tetapi akan langsung menyeberang untuk bermalam di Pulau Semu, akan tetapi di dalam perbincangan dengan pak Mamik, beliau menyarankan kami untuk mengurungkan rencana kami itu karena dikhawatirkan perjalanan kami akan mengalami hambatan serius ketika kami memaksakan untuk menyeberang pada saat hari sudah mulai gelap. Jadinya malam itu kami habiskan waktu berada di rumah Pak Mamik, aktifitas kami malam itu selain bersih-bersih diri jiwa dan raga lalu kemudian istirahat, juga kami sempat mengurus pemberitahuan kedatangan kami di Balai Perhutani Pulau Sempu yang terletak tidak jauh dari rumah pak Mamik dengan biaya registrasi seikhlasnya untuk kami berempat (waktu itu saya memberi Rp.10.000,-). Oya informasi tambahan yang kami dapatkan selama kami berada di Sendang Biru adalah terdapat jasa porter sekaligus penunjuk jalan ke pulau sempu dengan tarif berkisar Rp. 100.000,-Rp.150.000,- dan jangan lupa menyimpan nomor HP warga yang perahunya di carter untuk memudahkan proses penjemputan di hari kepulangan.

Ketika udara masih cukup sejuk di shubuh hari tanggal 4 November 2011, namun cahaya matahari sudah mulai menampakkan terangnya di Sendang Biru walaupun kalau dibandingkan dengan daerah seperti di Jogja, shubuh hari itu seperti pagi hari sekitar jam tujuh pagi kalau di Jogja padahal jamdi tangan masih menunjukkan pukul 5 Pagi. Suatu perbedaan suasana yang logis karena memang antara Sendang Biru yang sudah dekat dengan wilayah ujung Pulau Jawa dengan Jogja yang merupakan wilayah ditengah pulau Jawa mempunyai perbedaan suasana walaupun masih memiliki persamaan untuk satuan waktunya. Yaitu sama-sama Waktu Indonesia Barat (WIB). Pagi hari di Sendang Biru tidak kami lewati dengan berlama-lama, setelah sempat menyeduh minuman hangat dan mengisi perut kami dengan beberapa makanan ringan dan pamitan dengan Pak Mamik dan beberapa anggota keluarganya, kamipun segera menuju perahu yang sudah parkir menunggu kami di tepi pantai Pelabuhan. Terlihat aktifitas manusia pagi hari di pelabuhan sangat beragam, ada beberapa sekelompok anak kecil asyik bermain bola dan beberapa orang yang berprofesi nelayan hilir mudik di pelabuhan itu selain warga-warga yang sudah menunggui warung-warung berisi sembako. denyut nadi kehidupan di Sendang biru memang sudah cukup ramai namun cukup membuat diri kami senang bisa berada di dalamnya.
Perahu kecil yang terbuka dan bermesin yang kami tumpangipun mulai meraung-raung ketika kami sudah berada diatasnya. Perlahan namun pasti kami mulai menikmati perjalanan kami berada di atas perahu, aroma udara laut sudah memenuhi indera perasa di hidung dan pikiran kami, terlihat beberapa burung camar terbang di langit biru di atas perairan wilayah pelabuhan. Walaupun memang saat itu cuaca sangat cerah namun terik, hal tersebut bisa di imbangi oleh sepoi-sepoinya angin yang menerpa kami selama berada di atas perahu. Beberapa kali pandangan kami bereksplorasi melihat-lihat pemukiman yang berada di areal sekitar Sendang Biru yang berbukit-bukit dan melihat sekelompok perahu yang berjajar rapih di sekitar bagian perairan Pelabuhan dimana kami berpapasan ketika sedang dalam perjalanan. Tak lama kamipun sudah larut dalam suasana yang harmonis tersebut, dengan bersenda gurau dan sudah mulai mendokumentasikan perjalanan kami diatas perahu yang membelah perairan menuju Pulau Sempu tak terasa sudah setengah jam kami berada diatas perahu tersebut dan terlihat tak jauh lagi dari posisi perahu kami, terbentang sebuah Pulau dengan pintu gerbangnya beberapa bagian kecil wilayahnya yang berpasir putih bersih seakan-akan melambai ke kami untuk segera “mencumbu”nya.  Selamat Datang di Pulau Surga......

Tak lama setelah mesin kapal berhenti meraung dan kapal itu secara perlahan dan sunyi sudah dekat dengan Pulau Sempu, kamipun segera turun dari kapal sambil membawa peralatatan dan perlengkapan kami yang berada dalam tas-tas besar (carrier). Dengan masih harus menyeberang dengan jenis penyeberangan basah dari kapal yang tidak terlalu dekat dengan tepi pantai, kami mesti menggulung celana kami sebatas dengkul supaya menghindari celana kami  basah ketika kami mesti berjalan kaki di air laut  dari posisi kapal untuk sampai ke tepi pantai dari gerbang Pulau Sempu (untuk lebih jelasnya bisa dilihat di video perjalanan yang akan saya tampilkan di note ini). Sekitar 10 menit kemudian kami berempat sudah menjejakkan kaki di pasir pantai gerbang pintu masuk   di Pulau Sempu, tanpa berlama-lama lagi kamipun segera melangkahkan kaki kami ke belantara hutan Pulau Sempu menuju ke Lokasi akhir tujuan kami di Pulau Sempu, yaitu Segara Anakan. Perjalanan menuju ke Segara Anakan memakan waktu kurang lebih sekitar 1-2 jam perjalanan, bahkan bisa lebih ketika jalanan becek akibat hujan. di sarankan untuk para pengunjung yang ingin menuju ke Segara Anakan untuk memakai alas kaki berupa sepatu tracking sehingga akan cukup nyaman ketika melewati jalur jalan tanah setapak kecil yang kadang bercabang dengan beberapa akar pohon yang merambat melintang, batu-batu karang beragam ukuran yang tersebar dan pohon yang besar yang tumbang sehingga terkesan menjadi suguhan rintangan selama perjalanan yang mendaki dan menurun di medan belantara Pulau Sempu. Beberapa spesies burung khas pulau dan Macaca (sejenis kera) yang berada di Pulau Sempu sudah bisa kita temui di perjalanan. Adapun kondisi vegetasinya cukup rapat dan rimbun sehingga selama perjalanan apabila kondisi cuaca panas, kita akan terlindungi oleh rimbunnya pepohonan disana. Setelah melewati gugusan batu karang kombinasi kayu yang membentuk menyerupai jembatan di jalur track, itu tanda bahwa pengunjung sudah mendekati areal Segara Anakan. Tak lama setelah melewati jembatan itu kita sudah bisa mengintip sebagian sisi dari keindahan Segara anakan dari jalur track yang sudah berada di pinggang bukit disamping atas perairan Segara Anakan. Selamat datang di Pemandian alam alami para Dewa-Dewi Nirwana.....
Segara Anakan dijadikan tujuan populer bagi para pengunjung yang berada di Pulau Sempu, selain terdapat adanya pantai-pantai lain disisi pulau. Segara Anakan banyak yang menyandingkan keindahan alamnya seperti Phi Phi Island di Thailand yang ada di film the Beach bahkan menurut saya sih lebih indah (karena daerah di negara sendiri.hehehe).

Segara Anakan merupakan potret dari dataran pasir putih bersih yang mengandung perairan air laut yang terbentuk dan tertampung menyerupai danau yang airnya bersumber langsung dari lautan lepas yang menerobos masuk melalui celah atau ceruk yang berlobang di dinding tebing karang yang membatasi antara daerah Segara Anakan dengan lautan lepas di sisi luarnya. Ceruk itu berada di sudut sisi kiri samping ketika kita menghadap ke depan dari areal pasir putih yang membentang di Segara Anakan. Tempatnya memang seakan-akan tertutup dan tersembunyi di dalam areal wilayah Pulau Sempu yang cukup luas, sehingga tempat ini memiliki prestise tersendiri karena selain panorama alamnya yang menakjubkan, untuk menuju ke tempat ini juga memerlukan perjuangan yang boleh dibilang cukup membuat kita banjir keringat. Tetapi kompensasi dari keringat yang bercucuran akibat lelahnya kaki yang berjalan akan terbayar lunas ketika kita sampai di pasir putihnya, memandang dan mencicipi airnya yang bergradasi indah memancarkan warna-warni yang meneduhkan mata dan jiwa karena di beberapa waktu airnya bisa berubah warna dari biru menjadi agak hijau bahkan terkadang berkombinasi diantara keduanya tergantung faktor suhu dan waktu. Adapun biota laut seperti kerang, keong, kepiting dan juga ikan juga bisa kita jumpai cukup banyak disana selain banyak juga koral-koral yang tersebar di bagian areal wilayah Segara Anakan sehingga menggugah beberapa pengunjung untuk asyik memancing dan menjadi pengamat suguhan ornamen-ornamen yang menambah lengkap keindahan alam disana.  Selain itu kondisi alam disekelilingnya pun terlihat hijau dengan pepohonan hijau yang menyelimuti bukit-bukit di areal Segara Anakan sehingga kombinasi antara wilayah luar dan dalam Segara Anakan  menghasilkan gradasi yang indah dari keberagaman ekosistem diantara kedua wilayah tersebut. Namun yang perlu diwaspadai di Segara Anakan adalah ulah dari para Macaca yang sering mengambil bahan makanan apabila kita lengah menaruhnya. Disarankan apabila selama nge-camp di Segara Anakan untuk berhati-hati mengawasi bahan makanan yang dibawa dengan salah satu caranya dengan memastikan bahwa bahan makanan tersebut selalu berada di dalam tenda ketika pengunjung sedang tidak dekat dari areal tenda. Kejadian “pencurian” oleh Macaca tersebut sempat kami alami di sore hari, hari pertama selama tiga hari berada di Segara Anakan ketika kami berempat sedang menikmati pemandangan di areal yang jauh dari tenda dengan bahan makanan dan minuman kami sebagian tertinggal di luar tenda....hamsyong deh..hehehehe. tetapi untungnya atas inisiatif kami mengompori si Haik untuk merayu pengunjung lainnya yang kebanyakan pria dengan mantra-mantra saktinya seperti “you’re my hero...” yang meluncur dari bibir manisnya (mengandung racun dunia.hihihi) sehingga berhasil membuat para pria yang dirayunya memberi (iba mungkin) apa yang diminta oleh si Haik, akhirnya kamipun mendapatkan pengganti beberapa logistik yang di curi oleh si Macaca sekedar menyambung lamanya kehidupan kami di Segara anakan tersebut. Belum lagi ditambah ulah berang yang tanpa tedeng aling-aling meminta rokok yang sudah mulai habis dari persediaan yang dibawa, yang bagi kami berdua merupakan salah satu sembako penting untuk bisa menikmati keindahan yang ada di Segara Anakan. Seindah apapun objek dimata kami baik itu wanita maupun alam, apabila tidak sambil merokok sambil melihatnya, akan terasa hampa...kosong..hihihii...ibarat sayur tanpa garam..hamsyong juga deh..

Hari pertama kami di Segara Anakan, kami lewati dengan berenang-renang ria dari siang sampai menjelang sore. Untungnya ketika kami sampai di Segara Anakan pada siang hari, pengunjung di sana hanyalah kami berempat saja, belum ada pengunjung lainnya yang datang, sehingga kamipun puas memerawani suasana yang sunyi dan senyap tersebut dengan berteriak-teriak dan bertingkah laku seperti anak kecil yang senang dengan mainannya. Kami berempat berenang cukup lama, menikmati air Segara Anakan yang bersih dan dingin walaupun cuaca saat itu panas sekali. sampai sore hari kami berempat sedikit bergeser ke sisi samping bukit berbatu karang yang  agak menanjak dari areal pasir tempat tenda kami bentangkan untuk melihat pemandangan alam lautan lepas yang memang cukup bagus jarak pandangnya dari wilayah tersebut. View yang bagus sekali untuk bisa menikmati lautan lepas dan Segara Ankan disisi lainnya, dengan di naungi langit senja dan matahari yang mulai terbenam di ufuk barat, kami mendengarkan suara beberapa musik yang dihasilkan dari play list yang ada di HP haik, beberapa lagu yang diputar yang saya ingat adalah milik Slank “Sympati Blues” dan beberapa lagu berlyiric barat menambah suasana yang melankolik tersebut sambil sesekali kami bercanda dan mengemil makanan ringan yang kami bawa. Namun kami tidak menyadari nun jauh dibawah kami, di areal tenda dimana beberapa bahan makanan kami yang berada di luar menjadi bulan-bulanan para Macaca yang sepertinya tidak mau ketinggalan pesta yang kami adakan di atasnya. Hehehehe...

Malam harinya barulah kami sadar bahwa kami telah kehilangan sebagian logistik yang cukup vital yaitu terdiri dari beras, susu sachet,gula,kopi dan beberapa telor yang terbungkus satu dalam kemasan plastik. Maka disitulah letak fungsi yang vital dari keberadaan seorang wanita didalam kehidupan (hehehe..lebay) di Segara Anakan, si Haik pun mulai menyusup ke sekumpulan para pengunjung yang pada sore harinya mulai berdatangan menyusul keberadaan kami ditempat itu, entah apa yang diucapkan oleh Haik malam itu kepada mereka sehingga tak lama ketika dia meninggalkan kembali dan kembali lagi ke areal tenda kami,dia sudah membawa cukup gula untuk sekedar kami memberi rasa ke hidangan seduhan kopi yang kami buat untuk kami bisa menikmati obrolan “Curanmor” (Curahan perasaan lewat humor) di malam yang hangat di bawah terpaan malam yang cerah ditaburi beberapa bintang dan setengah bulan sabit yang seakan-akan tersenyum juga menemani kami menghabiskan malam di Segara Anakan.

Keesokan paginya, ketika udara sejuk menyapa kulit, kamipun terbangun dengan perasaan yang masih belum hilang takjubnya, ketika mata terbuka terhampar pemandangan alam pagi hari di Segara Anakan yang sungguh syahdu dan lembut di jiwa. Terdengar deburan ombak yang sebagian airnya masuk lewat ceruk menambah terapi musik alam seperti sebuah tempat yang sungguh membuat diri kita seperti berada di dimensi lain. Tak lama kemudian terlihat beberapa pengunjung lainnya juga sudah keluar dari dalam tenda dan terlihat asyik juga menikmati suguhan suasana pagi hari itu, bahkan tak lama berselang beberapa orang sudah asyik berenang di perairan yang tenang di Segara Anakan. Seperti tak mau kalah dengan pengunjung yang sudah berenang, rekan saya Dudung dan Haik pun terlihat sudah sudah asyik berenang juga di dalam perairan tersebut. Sedangkan Berang saya perhatikan masih meringkuk dalam lelap tidurnya. Sedangkan saya hanya duduk-duduk saja di depan tenda sambil berusaha menikmati suasana pagi yang cerah dan indah tersebut.

Dihari yang ke dua kami berada di Segara Anakan, sebenarnya kami sempat memutuskan untuk mengakhiri keberadaan kami untuk pulang dari tempat itu karena beberapa faktor, satu diantaranya dikarenakan bahan logistik kami yang berkurang karena di ambil oleh Macaca, namun karena waktu itu Berang sigap melihat sekumpulan pengunjung yang terdapat banyak wanita-wanita cantik didalam romboongan yang baru berdatangan, diapun memprovokasi kami bertiga untuk tetap tinggal sehari lagi dengan modus masih betah di tempat yang indah tersebut, walaupun Dudunk sudah mengkontak pemilik perahu untuk menjemput kami berempat siang harinya yang kemudian segera di batalkan kembali oleh Dudunk yang juga ikut terprovokasi dengan berbagai alasan yang dibuat, sehingga akhirnya kamipun melanjutkan kehidupan kami di hari kedua tersebut di Segara Anakan. Intuitif Berang memang tepat, karena tak lama dari itu sekelompok pengunjung berasal dari Malang yang pulang, memberikan beberapa logistik berupa beras, gula dan sereal sachet kepada kami setelah pada malam harinya  kami sudah sempat saling kenal dan mengobrol dengan mereka sehiingga mereka tau kondisi kami yang kehilangan sebagian logistik vital. Setelah sempat Haik yang sedang ditemani oleh Dudunk mengobrol ria mengucapkan “You’re my Hero” kepada rombongan dari Malang yang kesemuanya Pria lewat sambil menyapa, sehingga membuat pria yang menyalurkan bantuan tersebut berbunga-bunga (agak tipis antara berbunga-bunga dengan miris karena iba, hihihihi) akhirnya kami berempat pun cukup lega dengan adanya penyaluran rezeki tersebut sehingga menambah semangat kami mengarungi aktifitas kehidupan di Segara Anakan.
Akktifitas yang kami lalui di Segara Anakan pada hari keduapun tak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Berenang sambil mengeksplorasi sisi-sisi lain dari bagian wilayah perairan yang belum sempat di jamah oleh kami merupakan salah satu aktifitas yang tetap mengasyikandi hari kedua. Hanya saja pada hari kedua ini kami menambah kegiatan dengan mengumpulkan beberapa sampah-sampah organik dan non organik yang menurut kami mencoreng keindahan dari wilayah tersebut. Akan sungguh sangat disayangkan apabila para pengunjung yang telah, sedang dan akan menikmati keindahan Pulau sempu, kurang menyadari akan keberadaannya di wilayah tersebut bisa menodai keindahan dan kesucian dari Pulau Sempu apabila mereka meninggalkan sampah-sampah plastik dan bahan lainnya yang tidak bisa di urai oleh alam sehingga tidak menutup kemungkinan di kemudian hari apabila tidak adanya kesadaran dari pengunjung akan tindakan mereka yang tidak bertanggung jawab akan merusak ekosistem yang ada di Pulau tersebut, tak terkecuali di Segara Anakan. Berangkat dari pemikiran tersebut kami melakukan bersih-bersih areal di Segara Anakan. Haik terlihat menyusuri pinggiran perairan di tepi pantai, sedangkan saya menyapu bagian areal pasir pantainya. Sedangkan Dudunk yang dari awal sudah memposisikan dirinya sebagaikoki utama terlihat asyik menyiapkan olahan masakan yang dibuatnya dengan dibantu berang yang sebelumnya terlihat beristirahat di atas hammock (alat tidur gantung seperti ayunan bayi) yang melilit kokoh di dahan pohon di belakang tenda. Tak terasa malampun menjelang setelah seharian kami beraktifitas dengan gembiranya di areal Nirwana tersebut. Dimalam hari kedua, kami juga melewatkan waktu dengan melanjutkan sesi “Curanmor” yang sudah di ciptakan pada malam yang pertama, hanya saja sesi curanmor tersebut tidak sampai larut malam ketika hujan rintik-rintik mulai menyapa kami di malam yang kedua tersebut.

Keesokan paginya dihari ketiga, kami berempat sudah mulai terlihat sibuk berbenah packing memasukkan perlengkapan camping kami ke dalam tas untuk segera melakukan perjalanan pulang menuju Sendang Biru. Perasaan waktu itu bercampur, antara lelah, senang dan sekaligus seperti tak rela karena kami akan segera kembali ke peradaban yang penuh dengan hingar bingar, berbanding terbalik dengan suasana di Pulau Sempu yang tenang dan damai. Namun apa daya, hal tersebut mesti kami sadari bahwa di seberang sana, kehidupan kami yang sebenarnya sudah menanti kami lengkap dengan kompleksitas dinamika kehidupan yang melingkupinya yang kerap membuat kita jenuh namun juga tak sedikit membuat kita tertawa dalam menghadapinya. Dengan semangat yang sama ketika pada saat keberangkatan, kami pulang dengan tetap membawasemangat yang membara dan penuh suka cita selama dalam perjalanan pulang, bahkan sempat menggoda beberapa rombongan pengunjung yang  terdapat para wanita yang seger-seger dan tak kalah “hijau” dengan vegetasi di alam sekitar yang berpapasan ditengah jalan ketika kami hendak pulang. Setelah sampai di gerbang Pulau terlihat satu buah perahu sudah siap membawa kami untuk pulang karena memang sebelumnya kami sudah mengkontaknya untuk menjemput kedatangan kami di titik gerbang tersebut.  Tak lama kemudian kamipun sudah berada diatas perahu yang sudah mulai berjalan menyusuri perairan menuju Pelabuhan Sendang Biru. Setelah sampai di Sendang Biru kami pun menyempatkan diri untuk menikmati air kelapa muda yang segar sambil memandangi aktifitas sekitar pelabuhan di hari yang sudah beranjak siang tersebut. Lalu setelah itu setelah kami pamit dengan keluarga Pak Mamik dan mendapatkan angkutan, kamipun sudah terlihat asyik berada didalam laju kendaraan tersebut sambil sesekali mengingat memori indah selama berada di Pulau Sempu. Setelah sampai diPasar turen, kami menyempatkan diri untuk bersantap ria di salah satu Rumah Makan di pasar tersebut dengan hidangan khas Jawa Timur dengan harga yang terbilang miring (murah). Tak lama setelah mengisi perut, kamipun sudah berada di dalam bus yang mengantarkan kami ke Gadang untuk selanjutnya berganti ke  angkot menuju Stasiun Kereta Api. Selama perjalanan dari Pasar Turen cuaca di wilayah Malang mulai redup dan tak lama kemudian hujan deras pun turun mengiringi perjalanan pulang kami didalam kendaraan bus, sesekali kami selama berada di dalam bus bersenandung ria dengan lagu-lagu lawas penuh kenangan dan romantika sebagai representasi akan suasana yang melankolik tersebut yang saya citrakan sebagai ucapan kesedihan dari Alam di Malang ketika kami beranjak pergi meninggalkan Malang untuk pulang. Hehehehe..sekali lagi kami bertingkah sok melankolik...maklumlah faktor usia yang sudah beranjak muda...hehehe. setelah sampai di Stasiun Kota Baru, kamipun segera membeli tiket lalu kemudian menunggu kedatangan kereta api yang akan membawa kami ke Jogja. Selama proses menunggu jadwal kereta api yang akan datang, saya menyempatkan diri untuk sekedar membeli cindera mata kaos berlambangkan icon Arema Malang, sebagai bentuk apresiasi saya terhadap salah satu hal yang membuat kota Malang menjadi terkenal di Indonesia. Saat itu sore menjelang, cuaca masih terlihat mendung diselingi rintik hujan ketika kami sudah berada di dalam kereta yang mulai berjalan meninggalkan kota Malang. Didalam kereta kami sempat mengobrol dengan salah satu penumpang yang berada dekat ditempat kami duduk, sesosok bapak-bapak setengah baya yang merupakan anggota TNI bercerita membagi pengalamannya selama bertugas dibeberapa wilayah di kepulauan Nusantara. Banyak hal yang kami diskusikan yang sebanyak itu pulalah kami mendapatkan petuah berharga dan indah dari cerita yang di paparkan beliau untuk mengarungi kehidupan di dunia, seindah kepulauan yang terbentang dari sabang sampai Marauke yang merupakan untaian berlian yang berkilau diantara gugusan benua yang ada di muka bumi. Selama di dalam kereta saya sempat Flash backmemutar memori perjalanan saya hinggap di beberapa tempat di Indonesia yang membuat hidup saya jadi lebih dari sekedarnya, lebih dari sekedar menghirup oksigen yang masih segar di udara Indonesia,  lebih dari sekedar mengisi perut dari makanan dan minuman yang alami dan lezat dari yang dihasilkan secara alami dan jauh lebih sehat dari makanan dari luar bumi Indonesia, lebih dari sekedar bercengkrama dengan ramah terhadap masyarakat asli Indonesia ketimbang masyarakat barat yang terkesan hedonis, sekuler dan Imperialis. Jauh lebih dari sekedar damai ketimbang suasana perang yang berada dibelahan timut tengah sana, dan satu hal lagi, saya merasa lebih dari sekedar beruntung di lahirkan di bumi Indonesia yang gemah ripah lohjinawi seperti apa yang ada di cerita-cerita dongeng sebelum tidur tentang legenda secuil tanah surga yang jatuh di Nusantara....terima kasih untuk tempat-tempat surga dan masyarakatnya yang pernah saya kunjungi diantaranya Pulau Nias (Sumut), Danau Toba (Sumut), Gunung Sibayak dan Brastaginya (Sumut), Gunung Merapi dan Singgalang (Sumbar), Lembah Harau (Sumbar), Danau Singkarak (Sumbar), Gunung Dempo (Sumsel), Teluk Kiluan Lampung dan gunung-gunungnya (Rajabasa dan Tanggamus), sungai Way Besai Lampung, Situ Lembang Jabar, pedalaman kampung suku Baduy Banten, sungai-sungai di Jateng (Elo dan Serayu),  Gunung-Gunung di Pulau Jawa (Ciremai, Burangrang, Masagit, Merapi, Lawu,  Merbabu, Slamet, Bromo-Semeru)...kalian juga memiliki keindahan yang setara dari pengalaman jiwa raga ini yang juga telah sempat hinggap di keindahan Pulau Sempu sampai saat ini yang nantinya (Insha Allah) akan saya ceritakan ke anak cucu bahwa mereka beruntung dilahirkan di bumi surga yang bernama Indonesia yang keindahannya mengguncang dunia karena apa wahai sobatku??? Karena keindahan Indonesia itu layaknya sebuah gugusan permadani dan untaian tasbih yang memuji pencipta-Nya yang maha indah, dimana permadani dan tasbih itu dijadikan sajadah oleh Para Malaiakat dan dipintal oleh para Bidadari penghuni Syurga....    

Sesungguhnya pada kejadian semua langit dan bumi dan perubahan malam dan siang dan kapal yang berlayar di lautan membawa barang yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit dari ada air, maka dihidupkanNya dengan (air) itu bumi, sesudah matinya , seraya disebarkanNya padanya dari tiap-tiap jenis binatang, dan peredaran angin, dan awan yang diperintah di antara langit dan bumi; adalah semua­nya itu tanda-tanda bagi kaum yang berakal. (Al-Baqarah 164)

Nb : di sarankan untuk melihat video dokumentasi _selain foto-foto_perjalanan saya ke Bromo dan Pulau Sempu agar bisa mengkalibrasi keindahan dari narasi deksripsi yang saya tuangkan di dalam note ini. Terima kasih.
Wassalamua’alaikum warohmatullohiwabarokatuh...

Panorama Bromo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar